Jelajah Rempah Nusantara di The Dharmawangsa Bersama Javara Indonesia

Menjelajahi pemikiran, rempah-rempah, dan filosofi masakan kuno Nusantara dalam rangkaian hidangan.

Ragam bahan baku yang ditampilkan menggambarkan dapur era kerajaan kuno. | Foto oleh The Dharmawangsa.

Jumat 19 Agustus 2022 , The Dharmawangsa Jakarta mengundang Feastin’ untuk menyelami pesona rempah-rempah dalam gastronomi melalui kerja sama dengan Javara Indonesia. Pada acara Jelajah Rempah Nusantara kami disambut dengan welcome drink yang terdiri atas tiga pilihan yaitu orange pala, tebu kemangi, dan buah lontar air kelapa. Setiap minuman yang dipilih memiliki ceritanya tersendiri, seperti untuk campuran tebu, kemangi, dan juga lime dikarenakan tebu terdapat dalam relief Candi Borobudur. 

“The Dharmawangsa memang bangunannya juga terinspirasi dari masa-masa kerajaan kuno,serta nama Dharmawangsa diambil dari salah satu raja yang ada pada zaman Hindu-Buddha. Sehingga dari acara kolaborasi dengan Javara ini kami melihat adanya kesamaan bahwa sama-sama ingin menarik benang merah dari sejarah dan gastronomi yang ada di Indonesia,” jelas Celine selaku perwakilan dari The Dharmawangsa. 

Saat akan berpindah ke Sriwijaya Lounge, kami disambut dan diiringi oleh nyanyian yang merupakan bagian dari Javanese Wellness. Pengalaman yang diberikan untuk berjalan menuju Sriwijaya Lounge walaupun jaraknya cukup dekat menjadi suatu perjalanan yang menarik karena beriringan dengan sayup-sayup nyanyian. Ketika sampai di Sriwijaya Lounge hiasan-hiasan tumbuhan meninggalkan kesan menyatu kembali dengan alam. Terdapat dua meja panjang yang ditambahkan dengan hiasan dedaunan dan juga buah-buahan seperti pisang dan umbi-umbian di atas kain berwarna hijau. 

Hidangan pertama yang ditawarkan merupakan kletikan yang memiliki bahan dasar dari sukun yang kemudian diolah menjadi keripik. Keripik sukun ini dihidangkan dengan kluwih dan juga saus lontar salsa dip. Rasa yang diberikan cukup unik karena mengkombinasikan asin dari keripik sukun dengan manis asam dari saus lontar salsa dip. Terasa kerenyahan dari keripik sukun yang dipadukan sehingga menyegarkan begitu masuk ke mulut. Untuk hidangan amuse bouche kami disajikan yellowfin tuna dengan campuran mango salsa, lemon basil, Javanese long pepper, calamansi, dan jetkolet cassava chips. “Proses pembuatan keripik kentang ini cukup sama dengan konsep sourdough. Jadi mereka uleni dulu kemudian didiamkan selama satu hari baru besoknya dipotong tipis-tipis dan digoreng menggunakan minyak kelapa,” ujar Helianti Hilman, selaku Founder dari Javara Indigenous Indonesia disela-sela prosesi makan.

Tiga jenis beras dari Javara Indonesia. | Foto oleh The Dharmawangsa.

Selanjutnya kami disajikan dengan makanan pembuka berupa lobster yang diisi dengan foxtail millet jewawut, mangga muda, lotus salad, dan juga arenga vinegar dressing. Mangga menjadi pilihan yang kembali digunakan oleh Chef Julio, executive sous chef The Dharmawangsa, untuk isian dari lobster sebagai penggambaran untuk makna rumah. Tanaman jawawut sendiri merupakan tanaman serealia yang dapat digunakan sebagai makanan pokok pengganti nasi. Selama makan Helianti mengisi perbincangan dengan membawa kami untuk mengenal kembali rempah-rempah yang digunakan dari masa lampau. “Dari enam jenis tebu endemik di seluruh dunia, ternyata empat jenis tebu berasal dari Papua. Sehingga Papua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan tebu di Indonesia. Javara sendiri berhasil membawa tanaman tebu dari Papua yang memiliki beragam warna dari hitam, jingga, merah, dan kuning yang dikembangbiakkan pada kebun Javara di Bekasi,” jelas Helianti untuk menjelajahi bukan hanya kuliner yang disajikan namun juga penggunaan rempah-rempah yang digunakan.

Sup yang menjadi pilihan dari Chef Julio untuk kami cicipi adalah sayur lodeh yang uniknya menggunakan mie lethek dari singkong yang umum di area Bantul dan Magelang. Umumnya mie lethek dapat ditemukan di kota Yogyakarta dalam bentuk mie goreng atau mie rebus.“Di belakang Borobudur itu terdapat budaya gastronomi yang kuat, karena tidak mungkin membangun hingga sebesar itu, seindah itu, kalau tidak memiliki estetika budaya makan yang menjadi support system.” Sugi Lanus selaku filolog dan sejarawan yang bekerja sama dengan Javara menarik kembali benang merah gastronomi di era kerajaan. “Kami mempertanyakan kembali rute gastronomi di Borobudur itu seperti apa. Pastinya dengan candi-candi sebesar itu memiliki sistem yang luar biasa untuk mengorganisir semuanya, tetapi kebanyakan yang ditinggalkan adalah sistem pajak.” 

Beberapa rempah yang sudah diperdagangkan sejak Era Kuno di Nusantara. | Foto oleh The Dharmawangsa.

Belum selesai perjalanan gastronomi dalam acara Jelajah Rempah Nusantara, kami diajak untuk menikmati tiga jenis nasi: yaitu nasi mentik susu, nasi coklat, dan nasi merah yang dihidangkan ala tumpeng mini.  Menurut Sugi, pada zaman kerajaan kuno strata tertinggi pada makanan diukur berdasarkan berapa banyak buah yang disajikan pada meja makan para kaum brahmana, bukan dari jumlah daging. Hal tersebut dikarenakan dengan semakin banyak dan beragam buah yang disajikan dapat melambangkan kesehatan dan kemakmuran.

Jelajah Rempah Nusantara ini menjadi suatu pengalaman untuk mengulik kembali sejarah yang ada. Acara ini menjadi kolaborasi antara kuliner, sejarah, dan juga kekayaan rempah yang dimiliki Indonesia. 

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Gaya Baru Mr. Fox di Bawah Chef Wiem Kahyang Isha

Next
Next

Op-Ed: Diva Attitude, Duri Dalam Daging Dunia Kuliner