Op-Ed: Diva Attitude, Duri Dalam Daging Dunia Kuliner

Ketika dunia kuliner bak panggung sosial, banyak yang ingin mengambil peran utama.

Food is the new fashion, mungkin istilah tepat bagi semesta kuliner selama satu dekade terakhir. Sejak dulu, makanan memang memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi biologis dan fungsi budaya. Fungsi biologis berarti makanan sebagai sumber energi manusia. Sementara fungsi budaya adalah makanan sebagai identitas kultur dan etnis, bahkan identitas sebuah daerah. Namun, beberapa dekade terakhir, fungsi makanan pun bertambah, yaitu fungsi sosial. Fungsi sosial pada mulanya adalah makanan sebagai mediator dan pengengah saat adanya diskusi atau ngobrol santai. Namun, rupanya dengan berkembangnya ketertarikan manusia modern akan fungsi makanan, akhirnya sekarang ini banyak yang menjadikan dunia kuliner – entah itu sebagai chef, praktisi, dan sebagainya – sebagai cara baru untuk lebih dikenal luas. Ibaratnya, makanan sebagai batu loncatan ke panggung sosial yang lebih tinggi.

Sama seperti menggunakan pakaian terbaru, mengerti mode terkini, memahami tentang makanan dan mengunjungi tempat kuliner trendi sekarang ini punya nilai sama dalam lingkaran sosial: Bahwa mereka adalah trendsetter. Pada akhirnya, banyak orang yang memanfaatkan dunia kuliner ini lebih secara komersil dan cara mereka untuk masuk ke dalam lingkaran sosial yang lebih tinggi, dan dalam perjalanannya secara tidak sadar memunculkan sikap yang disebut sebagai diva attitude.

Makanan sebagai media untuk meloncat ke panggung sosial sebetulnya bukan hal baru. Pada 1780-an, seorang koki bernama Marie-Antonine Careme di Perancis menjadi terkenal di kalangan raja-raja Eropa karena melahirkan genre masakan bernama haute cuisine atau adiboga. Careme memasukkan unsur desain dan kemewahan dengan penggunaan bahan baku terbaik serta seni pahat dan dekorasi berlebih dalam tiap hidangan, sehingga perspektif tentang makanan berubah drastis. Hal ini membuat Careme dianggap sebagai celebrity chef pertama di dunia. 100 tahun setelah Careme, hadir pula koki bernama Auguste Escoffier. Sebagaimana Careme, Escoffier hadir dengan menyempurnakan warisan rasa yang telah dibuat oleh Careme, serta merancang sebuah sistem kelola dapur yang hingga saat ini kita pakai dalam sistem dapur restoran professional. Escoffier pun jadi ternama, dengan kliennya membentang dari kalangan aristokrat Eropa hingga orang kaya baru di Amerika. Escoffier yang lahir di desa sederhana di Perancis dengan keluarga biasa-biasa saja, pada akhirnya masuk dalam lingkaran sosial kelas atas dan paling berpengaruh Eropa. Semua karena makanan.

Sosok seperti Careme dan Escoffier mungkin layak mendapat lampu sorotan oleh karena kapasitas dan pengaruh yang mereka berikan untuk lanskap gastronomi Eropa, namun bagaimana dengan era sekarang? Era di mana kuliner semakin digemari oleh ragam kalangan? Sebagai penulis makanan, saya sering bertemu dengan banyak tipe pelaku di dunia gastronomi, mulai dari koki, penulis makanan seperti saya, aktivis pangan, anggota perhimpunan kuliner, hingga pemilik restoran, serta mereka yang disebut influencer. Semakin saya sering berkecimpung dalam ekosistem ini, semakin saya menyadari bahwa sifat ingin tampil sepertinya tak terelakkan ada dalam diri setiap manusia, hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Bila kadarnya normal, ia tak mengganggu, namun bila sudah ekstrem maka segala hal terpusat pada diri mereka.

Dunia kuliner sekarang sudah lebih dari sekedar makan-makan, tapi panggung sosial untuk ragam bentuk manusia. Hal ini tak bisa disangkal muncul karena dunia makanan sedang mendapat sorotan. Awalnya mungkin dari kompetisi masak memasak seperti Masterchef, Top Chef, Hells Kitchen dan lainnya. Kompetisi-kompetisi tersebut melahirkan wajah-wajah baru di dunia masak memasak, termasuk mereka dengan wajah menawan. Sontak, profesi koki langsung dianggap sebagai sesuatu yang seksi. Hal ini tentu ada baiknya, karena mata dunia yang dulu memandang rendah profesi koki sekarang lebih menaruh respek. Namun, dampak lain dari ini adalah munculnya keinginan untuk tampil secara instan, atau menjadi bintang memasak. Acara seperti A Cook’s Tour dan No Reservation oleh Anthony Bourdain atau Bizzare Food yang dikepalai oleh Andrew Zimmern juga punya andil, terutama dalam mendorong genre acara televisi baru yaitu food travelling.

Lalu ada pula penghargaan-penghargaan kuliner seperti 50 Best Restaurants Awards yang memilih lima puluh restoran terbaik dunia tiap tahunnya, hingga acara seperti Chef’s Table yang ditayangkan di kanal Netflix, keduanya memberikan sorotan kepada para koki restoran fine dining. Mereka, para koki fine dining, yang kemungkinan awalnya antipati terhadap para celebrity chef karena dianggap “tidak sekelas” dan “tidak nyeni” seperti mereka, kini mendapat kesempatan untuk mencicip glitz and glam dunia entertainment, dan ternyata menyukainya. Namun, tidak seperti celebrity chef yang memang sejak awal fokus dan dilatih untuk menghibur penonton secara kasual, dari dalam diri beberapa koki fine dining yang mendadak seleb ini, muncul diva attitude yang cukup terasa. Mungkin sekali lagi, anggapan bahwa mereka menjadi selebritas karena kualitas kemampuan memasak selalu jadi jawaban utama.

Sebetulnya, lampu sorotan punya pengaruh positif bila dimanfaatkan dengan baik. Contohnya adalah bagaimana Rene Redzepi dari Noma di Kopenhagen Denmark memanfaatkan pamornya untuk mendorong koki-koki lain melakukan inovasi terhadap protein masa depan; atau ketika Bo Songvisava dari BoLan Bangkok mengajak koki-koki agar menggali kembali warisan budaya. Ada pula yang justru kikuk ketika dihadapkan oleh pengenalan secara global – seperti banyak koki berbintang dua hingga tiga Michelin yang walau nama dan pamornya sudah mendunia, mereka memilih untuk diam di belakang dapur dan menghabiskan hari-harinya dengan dedikasi di restoran. Tapi, ada juga yang senang dengan lampu sorot dan menganggap diri mereka rock star.

Tapi ketika kita pikir diva attitude hanya ada dalam dunia perkokian, salah besar. Saya, sebagai penulis kuliner dan pemilik media, paham betul bahwa ada privilege yang kami dapatkan. Undangan makan di restoran mewah, mengintip menu baru sebelum masyarakat umum, duduk satu meja dengan nama-nama besar di restoran, diajak pergi ke luar kota bahkan luar negeri untuk meliput event kuliner. semua adalah bagian dari pekerjaan yang sering membuat iri orang lain. Tapi, pekerjaan ini juga punya sisi lain dari koin: Menaman benih diva attitude. Tentu kami merasa spesial. Saya tidak bisa lupa betapa merasa spesialnya saya saat pertama kali diundang untuk makan di sebuah restoran di kawasan Thamrin sebelum orang lain; atau, ketika saya diundang untuk hadir dalam peresmian sebuah museum kuliner di sisi Danau Jenewa di Swiss. Tentu saya merasa berada di langit-langit. Tidak semua orang mendapat kesempatan – bahkan akses – seperti saya. Dan mungkin saja saat itu saya menampilkan diva attitude tanpa saya sadari. Ada pun masa ketika saya lebih memilih duduk bersama jurnalis alih-alih kreator konten makanan, dengan pemikiran bahwa kami lebih bekerja keras dari mereka (mungkin ada benarnya), namun itu bukanlah alasan untuk jadi arogan. Polarisasi dan mengkotak-kotakan rupanya secara tidak sadar berhubungan dekat dengan diva attitude pula. Kita jadi lebih mudah menghakimi yang lain, seakan kita sudah melakukan yang terbaik.

Namun, seiring dewasa dan semakin saya mendalami kuliner, saya melihat fakta yang tak bisa dibantah: Bahwa keinginan mau tampil sama sekali tidak ada gunanya dalam memajukan kuliner negeri ini. Gastronomi Indonesia masih perlu perjalanan cukup panjang agar bisa dikenal seperti kuliner Jepang, Thailand dan lainnya. Dan fakta yang harus ditelan adalah: perjalanan panjang itu butuh para pekerja keras, bukan para penampil. Dibutuhkan kerendahan diri untuk mau bekerja keras, berkotor-kotor, berkeringat, untuk membuat gastronomi Indonesia diperhitungkan.

Negeri ini butuh para pejuang gastronomi, para akademisi kuliner, para koki kreatif yang punya visi dan misi mulia, para pakar makanan yang tak saling berebut panggung, para penulis dan kreator konten makanan yang tak saling menyelip lampu sorot. Apabila kita sama-sama sadar bahwa Indonesia masih butuh kerja keras dan keringat untuk memajukan kuliner, saya yakin tujuan mulia itu akan berbuah baik. Oleh karena itu, mungkin pertanyaan saya akan menjadi penutup.

Apakah Anda, yang sedang membaca ini, rela berkeringat, bekerja keras, demi mendorong gastronomi Indonesia disegani tanpa embel-embel lampu sorot? Jika iya, maka terpujilah Anda. Namun jika tidak, mungkin Anda perlu pindah haluan.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Jelajah Rempah Nusantara di The Dharmawangsa Bersama Javara Indonesia

Next
Next

PAON, Buku Resep dan Cerita Cinta Kuliner Bali