Inovasi dan Preservasi Kuliner, Kawan atau Lawan?

Dua hal yang seakan bertentangan namun sesungguhnya saling membutuhkan demi gastronomi Indonesia yang jaya.

Cup Noodles Museum, di Yokohama, Jepang. | Foto oleh Cup Noodles Museum

Selama saya menulis tentang makanan sepuluh tahun terakhir, perkembangan industri kuliner dalam negeri melejit dengan sangat cepat. Dampaknya adalah kemunculan banyak hidangan baru nan nyentrik yang seakan membayang-bayangi hidangan klasik dan tradisional. Lalu pertanyaan ini mulai sering ditanyakan: Bagaimana nasib hidangan tradisional bila hidangan modern mendominasi?

Makanan pada dasarnya sama dengan produk budaya lain seperti musik, tarian, dan seni visual, di mana karakternya adalah hidup dan berkembang sesuai dengan manusianya. Selama pikiran manusia terus berjalan, berkembang, menyerap hal-hal baru, menelurkan prinsip baru, menciptakan teknologi baru, menemukan bahan baku baru, maka makanan sebagai produk pikiran manusia juga akan berkembang dengan sendirinya. Itu prinsip fundamental yang harus kita pahami terlebih dulu tentang makanan sebelum berargumen.

Karakter Masyarakat yang Membuka Diri
Bila kita bicara tentang perkembangan dan inovasi kuliner yang terjadi di Indonesia, Hal tersebut sejatinya merefleksikan karakter masyarakat Indonesia sendiri yang sejak dulu sangat terbuka terhadap hal-hal baru dan budaya baru. Heterogenitas gastronomi Indonesia tidak mungkin ada bila masyarakatnya menutup diri terhadap pengaruh budaya baru. Nasi goreng, sate ayam, soto, selat Solo, adalah contoh-contoh hidangan yang lahir dari keterbukaan kita terhadap budaya kuliner lain, sehingga memantik masyarakat lokal untuk melakukan inovasi pengolahan masakan. Nasi goreng contohnya, bisa lahir karena inovasi cara memasak menggunakan wok dari Tionghoa, serta meleburnya cita rasa Jawa dan Tionghoa. Begitu pula sate, di mana masyarakat lokal menyerap inspirasi cara masak orang Persia dan Timur Tengah, lalu mengadaptasinya dengan bahan baku lokal, sehingga lahirlah sate dengan karakter kelokalan yang kita kenal sekarang.

Inovasi kuliner sebetulnya sesuatu yang terus akan terjadi selama peradaban manusia berlangsung. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain perkembangan teknologi, terpaparnya individu dengan budaya lain, ketersediaan bahan pangan lokal maupun non lokal, hingga keputusan politis. Ketika Rusia mengembargo produk makanan dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat di 2014 dan berlanjut hingga beberapa tahun setelahnya, banyak restoran yang tadinya mengandalkan produk makanan dari luar negara akhirnya mencari substitusinya dengan yang ada di dalam negeri. Mereka juga mulai mencari alternatif baru dari seluruh Rusia. Dampaknya justru menarik karena menjadi kembangkitan gastronomi Rusia karena inovasi kuliner yang dilakukan banyak restoran di sana.

Di masa sekarang, inovasi kuliner lebih banyak terjadi bukan karena perpaduan budaya namun karena didorong kebutuhan komersialisasi. Industri makanan dan minuman sangat dinamis dan tiap hari selalu saja ada yang baru. Di tengah pasar yang begitu ramai itu, pemain industri kuliner pun saling berlomba-lomba menciptakan produk baru sebagai daya tarik. Ada yang mengambil inspirasi dari produk kuliner yang sudah familiar, ada pula yang sepenuhnya menciptakan sesuatu yang baru dan aneh. Tidak ada yang salah dari penciptaan produk baru, namun permasalahannya adalah, mayoritas pelaku kuliner baru tidak dibekali dengan pengetahuan tentang pengetahuan masakan tradisional. Di sinilah peran preservasi kuliner diperlukan sebagai landasan dalam inovasi makanan Indonesia.

Preservasi Penjaga Identitas
Namun inovasi yang berlebihan juga bisa berakibat menggerus karakter asli Identitas kuliner. Di ranah preservasi inilah dibutuhkan lebih banyak kaum intelektual kuliner seperti arkeolog pangan, antropolog pangan, periset makanan, sejarawan kuliner, penulis buku masakan, hingga peggiat kreatif di bidang kuliner. Preservasi kuliner adalah kegiatan akademis yang butuh pemikiran mendalam, strategis, dan rencana konkret. Preservasi kuliner bukan cuma soal “melestarikan” makanan lokal dengan terus memasaknya dan menjaganya. Preservasi kuliner butuh upaya yang lebih besar dari pada itu, upaya multidisiplin yang menyentuh koridor pendidikan hingga hiburan.

Untuk memastikan makanan tradisional tetap lestari, hal pertama yang butuh dilakukan adalah memunculkan kembali ketertarikan terhadap makanan tersebut. Lebih ekstrem lagi, memperkenalkan kembali makanan tradisional tersebut kepada generasi selanjutnya. Kita harus ingat, preservasi dilakukan untuk generasi yang akan datang, bukan untuk generasi sebelumnya. Sehingga cara-cara preservasi juga harus adaptif dengan generasi baru. Contoh sederhana dari preservasi kuliner dalam bidangan pendidikan adalah memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah, sehingga yang dianggap produk budaya tak sebatas pakaian tradisional dan rumah adat tradisional saja. Pendirian museum kuliner juga bisa dilihat sebagai salah satu cara menarik mengumpulkan ragam warisan kuliner nasional dan kisahnya dalam satu institusi yang bisa jadi acuan domestik maupun internasional.

Preservasi juga mesti melibatkan industri kreatif. Bila kita lihat bagaimana Korea Selatan dan Jepang selalu memenuhi laman Netflix dengan seri-seri kuliner mereka dalam berbagai cerita dan tema, itu adalah cara jitu preservasi kuliner masa kini. Memasukkan unsur entertainment ke dalamnya akan membuat preservasi kuliner tak membosankan. Atau, preservasi kuliner juga bisa dilakukan dengan mengadakan festival-festival, seperti yang secara swasta dilakukan di Aceh dengan Aceh Culinary Festival dan di Ubud, Bali dengan Ubud Food Festival. Keduanya memasukkan unsur wisata dan atraksi dalam upaya preservasi, dan hal itu bisa berhasil.

Intinya adalah, preservasi dan inovasi kuliner harus jalan bersamaan. Karena apabila tidak terjadi inovasi dalam dunia makanan, berarti ada tanda tanya besar dan bendera merah yang mengindikasi tidak terjadi pergerakan sosial, budaya, atau bahkan ekonomi di situ. Namun inovasi juga harus bergandengan dengan preservasi agar identitas tetap terjaga, seperti yang terjadi di Jepang dan Inggris, di mana kedua negara tersebut dikenal dengan upaya luar biasa dalam preservasi warisan makanan dan minuman, namun tidak menghalangi terjadinya inovasi dalam dunia gastronomi mereka. Hasilnya adalah kuliner Jepang dan Inggris justru semakin dikenal oleh masyarakat global dan memiliki daya tarik untuk komunitas modern.

Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah terutama dalam upaya preservasi. Negara ini sudah punya lebih dari cukup orang-orang yang penuh semangat melakukan inovasi dalam hal makanan dan minuman, namun kita darurat intelektual kuliner yang justru punya peran advokasi, akademik, dan pelaku preservasi gastronomi.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Sorotan dari Ajang Asia’s 50 Best Restaurants 2024

Next
Next

Belajar dari Nasi Peda Pelangi: Menjalankan Bisnis Kuliner Selama Ramadan