Merayakan Lanskap Restoran Asia

Feastin berbincang dengan chef Zaiyu Hasegawa dari restoran DEN, chef Jordy Navarra dari Toyo Eatery, dan chef terbaik Asia lainnya, menggali perspektif mereka tentang mengapa Asia adalah tanah subur bagi lanskap gastronomi kontemporer

Tanggal 28 Maret 2023 kemarin, Singapura kembali menjadi tuan rumah penghargaan paling prestisius restoran-restoran di Asia, Asia’s 50 Best Restaurants Awards, dan merayakan ulang tahunnya yang ke sepuluh. | Foto oleh Asia's 50 Best Restaurants.

Suara jepretan kamera bersambut dengan kilau cahaya yang mengikutinya. Sekali, dua kali, tiga kali, semakin malam semakin tidak berhenti, terlebih saat sosok-sosok berselendang merah makin banyak berkumpul. Mereka bukanlah pesohor industri fim, mereka juga bukan model papan atas, tapi mereka – para pria dan wanita yang sudah sama-sama bersolek ini – adalah chef restoran-restoran terbaik Asia. Tepukan di pundak, pelukan hangat, salam tangan penuh hasrat, senyum yang mekar, mengisi ruang balai utama Resort Worlds Sentosa Singapura pada 28 Maret 2023. Ratusan orang dari berbagai restoran yang tersebar di Asia, dari New Delhi hingga Seoul, dari Jakarta hingga Beijing hadir di sini. Mereka merayakan sepuluh tahun berdirinya penghargaan paling prestisius di dunia restoran Asia, Asia’s 50 Best Restaurants Awards.

Setelah dua tahun tak digelar secara tatap muka karena pandemi, tahun ini adalah pertama kalinya event paling ditunggu-tunggu oleh pelaku restoran Asia digelar. Gelas-gelas berisi wine dan sampanye mengitari ruang resepsi utama tanpa henti. Bir dituang terus tak habis-habisnya. Canape berbagai bentuk dan rasa, santapan untuk berbagai selera, ada di sana. Bagi orang biasa, acara ini mungkin terlihat sebagai acara orang-orang kaya semata, namun bagi pelaku restoran dan hospitality, Asia’s 50 Best Restaurants Awards merupakan strata tertinggi. Posisinya dapat disandingkan dengan Piala Oscar atau Grammy Awards bagi kuliner Asia. Jangankan masuk dalam nominasinya, untuk dapat hadir di acara tersebut pun bagi mayoritas pelaku restoran bak punuk merindukan bulan.

Dalam euphoria yang terjadi atas diselenggarakannya kembali acara ini, ada satu yang menjadikannya lebih spesial, terlebih untuk Indonesia khususnya kota Jakarta: yaitu tahun ini pertama kalinya restoran dari Jakarta masuk dalam daftar restoran-restoran terbaik Asia, bahkan memenangkan penghargaan kategori khusus. Restoran itu bernama August, yang didirikan oleh Hans Christian dan Budi Cahyadi pada 2021 lalu, dan berlokasi di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan. Respons positif diterima oleh August dari penikmat restoran dan pelaku restoran Indonesia saat diumumkannya penghargaan tersebut awal Maret lalu. Nyatanya, Jakarta yang selama ini dipandang sebelah mata sebagai dining destination, mulai kelihatan potensinya di kancah restoran Asia.

Budi Cahyadi (kiri) dan Hans Christian (tengah) mewakili restoran August menerima penghargaan One to Watch Awards, dan jadi restoran pertama asal Jakarta yang masuk dalam daftar prestisius ini. | Foto oleh Asia’s 50 Best Restaurants

 Kota destinasi makan-makan baru bermunculan

Jakarta tidak sendiri, kota ini bersama dengan Manila di Filipina, Ho Chi Minh di Vietnam, mulai dilirik potensinya bukan lagi kota street food semata, tapi juga kota restoran kelas atas. Sejak lama, kota restoran Asia selalu dimonopoli reputasinya oleh Tokyo dan Hong Kong. Singapura menyusul dengan cepat di periode 2010 sebagai dining destination di Asia yang didorong oleh kampanye besar-besaran dari pemerintah atas ragam kuliner yang tersedia di negara itu. Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, image Singapura dari Surga Belanja berkembang dengan cepat jadi Surga Makanan, di mana tak hanya street food yang berjaya tapi juga lanskap food and beverage modern kota lengkap dengan restoran-restoran fine dining mereka.

Singapura dan Bangkok barulah dua kota di Asia Tenggara yang berhasil “keluar” dari bayang-bayang destinasi kaki lima menjadi destinasi gastronomi yang menyeluruh. Di periode yang sama pula Bangkok melejit dan bersaing dengan Singapura sebagai surga restoran Asia, menyamai posisi yang lebih dahulu sudah dipegang kota Tokyo dan Hong Kong. Perlu waktu cukup lama sehingga kota-kota lain di Asia bisa muncul dan bersaing dengan mereka. Tapi titik terang mulai kelihatan bagi kota lain Asia. Dalam penghargaan Asia’s 50 Best Restaurants tahun 2023, ada tiga kota yang menarik perhatian: Ho Chin Minh (Vietnam), Chennai (India) dan Jakarta (Indonesia). Inilah kali pertama tiga kota tersebut disebut namanya dalam daftar prestisius itu.

Menurut chef Zaiyu Hasegawa dari restoran DEN, Tokyo kepada Feastin’, ia melihat keuntungan menjadi chef di Asia dan kenapa akan banyak tempat-tempat baru di Asia yang menarik. “Saya bangga jadi chef asal Asia karena bagian dunia ini punya kelebihan dari yang lain. Asia kental dengan budayanya, dan itu yang menarik. Saya tidak heran bila ke depan akan banyak kota lain di Asia yang bersinar dengan karakter lanskap restoran mereka masing-masing.” Terangnya dalam wawancara tatap muka.

Selain Jakarta, Chennai dan Ho Chi Minh, sudah banyak kota lain yang sebetulnya menyusul posisi Bangkok, Singapura, Tokyo dan Hong Kong sebagai destinasi restoran. Manila, Filipina; Taipei, Taiwan; Seoul, Korea Selatan telah terlebih dahulu melangkah dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor seperti promosi pariwisata yang masif, karakter kota yang semakin kuat dari segi turisme, hingga jumlah restoran kontemporer yang makin banyak jumlahnya. Peningkatan ekonomi kawasan regional yang mendorong masuknya perusahaan asing juga punya andil. Maka dari itu bila kita lihat posisi kota-kota restoran termahsyur di Asia, seluruhnya adalah kota kombinasi identitas  kota bisnis dan kota pariwisata.

Chef Jordy Navarra dari Toyo Eatery di Manila, Filipina, memiliki tujuan agar restorannya dapat menjadi ruang edukasi bagi calon chef dan pelaku restoran muda Filipina.| Foto oleh Asia’s 50 Best Restaurants

Menjadi magnet chef generasi baru

Sebuah kota tidak bisa menjadi destinasi restoran bila tidak memiliki tenaga manusia yang punya kapasitas mencukupi. Selama beberapa tahun terakhir, bakat-bakat baru muncul di berbagai kota besar Asia. Mereka umumnya adalah chef muda yang pernah bekerja di bawah restoran-restoran ternama dari Kopenhagen, New York, hingga Paris. Kembali ke kota asal entah itu Tokyo, Bangkok, dan Singapura, mereka pun mendirikan restoran dan membangun reputasi sebagai restoran-restoran terbaik di wilayahnya masing-masing. Kevin Wong pemilik restoran Seroja di Singapura yang menarik perhatian dengan gaya masakan Nusantara kontemporer, pernah bekerja di restoran berbintang tiga Michelin, Coi di San Francisco; Thitid Tassanakajohn – atau yang lebih akrab dipanggil chef Ton – mendirikan restoran Le Du di Bangkok setelah bekerja di Eleven Madision Park New York (tahun 2017 Eleven Madison Park dinobatkan sebagai restoran terbaik nomor satu di dunia oleh The World’s 50 Best Restaurants Awards); Di Jakarta sendiri, August – restoran yang memenangkan One to Watch Awards 2023 dari Asia’s 50 Best Restaurants – memiliki chef Hans Christian yang sebelumnya mengasah kemampuan di restoran Next Chicago milik chef Grant Achatz.

Mereka kembali pulang bukan tanpa alasan. Justru, mereka pulang karena melihat perkembangan lanskap restoran kota yang semakin besar dan menjanjikan. Ada pula yang pulang dengan misi untuk membangun kuliner kotanya jadi lebih modern. Walau Asia memiliki cukup banyak “cadangan” bakat yang masih menimba ilmu di berbagai dapur terbaik dunia, sebetulnya ada masalah di depan mata: sekolah kuliner. Sekolah kuliner punya peran signifikan dalam menelurkan bakat-bakat baru dalam dunia gastronomi. Di Indonesia sendiri, sekolah kuliner dengan akreditasi tinggi masih bisa dihitung jari. Sisanya hanyalah kursus masak atau sekolah perhotelan di universitas.

Berbeda dengan Singapura dan Bangkok, dua kota tersebut cukup diberkahi dengan kehadiran sekolah-sekolah kuliner berstandar internasional. Tapi ada lagi permasalahan yang muncul dari sini, yaitu harga yang mahal. Le Cordon Bleu Dusit Bangkok contohnya, untuk siswa mendapat sertifikasi Diplome de Cuisine, mereka harus merogoh dana senilai THB 653,600 atau setara lebih dari tiga ratus juta rupiah hanya untuk masa sekolah satu hingga dua tahun. Center for Culinary Arts Manila di Filipina, juga sama. Salah satu sekolah kuliner terbaik di Filipina ini menghargai diploma tertinggi mereka senilai satu juga dua ratus peso, atau senilai tiga ratus empat puluh juta rupiah.

“Sekolah kuliner sangat mahal di mana pun, apalagi di Asia. Oleh karena itu kami tidak mengharuskan staf atau pun anak magang yang melamar di restoran kami lulusan sekolah kuliner.” Ujar Jordy Navarra dan May Navarra kepada Feastin. Keduanya merupakan pemilik dari restoran Toyo Eatery di Filipina yang mendapat predikat restoran terbaik ke-42 di Asia oleh Asia’s 50 Best Restaurants 2023. “Namun kami tahu ada keuntungan dari sekolah kuliner, yaitu fundamental teknik. Tapi buat kami selama calon pekerja dan calon staf itu punya passion terhadap makanan, apalagi makanan Filipina, pasti kami perhitungkan.” Lanjutnya.

Karena pada akhirnya, apabila hanya mereka yang memiliki gelar dari sekolah kuliner ternama yang diperhitungan bekerja, maka dunia kuliner hanya akan jadi dunia ekslusif bahkan hingga ke dalam operasionalnya. Yang harus dilakukan ke depan, adalah menyediakan institusi-institusi pendidikan kuliner yang terjangkau – namun dengan kurikulum terkini – sehingga makin banyak siswa dari berbagai kelas sosial yang bisa mendapat pengetahuan fundamental di dunia restoran.

Surga bahan pangan

Asia juga adalah rumah bagi tak terhitungnya seni pengolahan pangan dalam budaya kuliner. Dari pertanian hingga proses pengawetan, dari peracikan bumbu sampai pengolahan saus – semua ada di Asia. Jika pada masa lampau banyak bahan baku restoran hanya bersandar pada perusahaan-perusahaan supplier besar, selama beberapa tahun terakhir – terutama di Asia – restoran dan chef mulai melirik pada bahan baku lokal. Berkunjung ke petani di desa, mencari bumbu yang hanya dibuat oleh keluarga turun temurun, sekarang jadi primadona dalam lanskap restoran Asia. Danny Yip, pendiri dari restoran The Chairman di Hong Kong dan pemenang dari restoran terbaik No.1 di Asia tahun 2021 pun setuju dengan pendekatan kelokalan ini. “Sebagai chef, yang saya lakukan sekarang tidak hanya di belakang dapur. Saya dan beberapa tim inti akan keliling berbagai wilayah dan desa di Cina. Tujuannya hanya satu, untuk menemukan bahan-bahan baku lokal yang mungkin tak pernah saya temui, atau masakan khas yang juga jarang ditemukan di kota lainnya. Intinya, saya ingin kami terinspirasi oleh kekayaan kuliner lokal kami.” Danny melanjutkan, bahwa sebagai seorang chef, adalah keharusan untuk selalu terinspirasi oleh sekitar dan terus menemukan hal-hal baru. Senada dengan Danny, menurut Han Li Gang, pendiri dan chef dari restoran Labyrinth di Singapura, menyatakan kalau chef sebisa mungkin harus menjadi representasi identitas budaya mereka melalui masakan yang mereka olah. Oleh karena itu menjadi penting ketika chef punya andil dalam berkoneksi dengan ekosistem pangan sekitar, serta menunjukkan kepada konsumen kekayaan boga melalui interpretasi mereka sendiri.

Asia masih punya banyak harta kuliner yang penuh pesona dan menjadi magnet global gourmet. Gegap gempita dunia kuliner Asia yang kita alami sekarang barulah awalnya saja. Seperti chef Hasegawa katakan, bahwa era ini adalah era yang membanggakan menjadi chef di Asia, karena mata dunia – mau itu secara ekonomi, budaya pop, hingga kuliner – sedang menatap tajam benua timur. “Yang penting adalah kita menjadi diri sendiri. Mau generasi berganti, selama kita menjadi diri sendiri, menampilkan yang menjadi identitas kita, kita akan tetap relevan.” Tutup Aditi Dugar, pemilik dari restoran Masque di Mumbai India, dan pemenang penghargaan restoran terbaik di India oleh Asia’s 50 Best Restaurants, dengan penuh hasrat dan menyala-nyala.

Di restoran Masque, chef Varun Totlani dan tim menggunakan bahan lokal dari berbagai kawasan di India serta menciptakan hidangan baru dengan gaya kontemporer. | Foto oleh Asia’s 50 Best Restaurants

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Destinasi Restoran di Resorts World Sentosa Singapura

Next
Next

Petualangan Hidangan Sisilia di Osteria Gia