Bersantap dari Kacamata Mereka dengan Kondisi Kesehatan dan Pola Makan Tertentu

Menyelami perspektif makan dari mereka yang memiliki kondisi kesehatan atau menjalani pola makan tertentu.

Beberapa menu dari Burgeens menggunakan bahan dari Green Rebels | Foto oleh: Green Rebels

Harus berpikir keras tempat makan apa yang menyediakan makanan yang dapat dikonsumsi, menelusuri satu demi satu komposisi makanan dan minuman di dalam buku menu, menimbang keinginan untuk menyantap suatu makanan atau minuman favorit sambil membayangkan efek samping yang mungkin akan dirasa, meskipun obat telah dibawa… atau sesimpel memiliki rasa kangen akan makanan atau minuman yang dulu selalu mewarnai hari-harimu… 

Tidak semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menyantap berbagai hidangan, khususnya mereka yang terlahir atau pada suatu waktu dalam hidupnya ditakdirkan memiliki kondisi kesehatan tertentu. 

Mencoba memahami rasa frustrasi akan keinginan untuk menyantap sepiring hidangan atau bahan baku yang sebelumnya sangat disukai bukanlah proses yang mudah. Rasa tersebut kerap kali ada, terlebih awal mula ketika memulai untuk mencoret hidangan atau bahan baku yang selama ini menghiasi hari. 

“Pada tahun 2013, saya divonis memiliki penyakit kronis” ungkap Avidyarahma, founder ORVIA. Tak hanya membuat tubuhnya lemah sehingga terbatas dalam mengikuti berbagai aktivitas, penyakit yang ia derita pun alhasil membuatnya bergantung pada obat-obatan dan harus membatasi jenis makanan yang dapat ia konsumsi, termasuk susu dan daging merah. 

Avidyarahma, founder ORVIA | Foto oleh: ORVIA

“Hidup dengan penyakit kronis senantiasa diwarnai dengan rasa sakit” tambahnya. Sesi terapi pun dijalani dan ada satu kejadian mengharukan yang sangat membekas bagi Avi, begitu sapaan akrabnya. Saat itu, ia membawa frozen dessert buatannya yang disambut dengan gembira oleh peserta terapi lain. Salah satu peserta berkomentar: “Makanan seperti ini membuat kami lupa akan penyakit yang sedang kami derita. Kami lelah mengonsumsi hidangan atau bahan baku yang identik dengan penyakit kami, seperti nasi cokelat atau green smoothies” 

Sejak kecil, Avi tumbuh melihat bagaimana makanan menyatukan banyak orang. Lahir dan besar di keluarga dengan darah Minang yang kental, acara kumpul keluarga selalu identik dengan makanan. Tak hanya itu, saat melihat acara bertemakan budaya di luar negeri, makanan menjadi salah satu pengikat bagi diaspora yang berkumpul sambil bersenda gurau mengingat kampung halaman. 

Ragam produk ORVIA | Foto oleh: ORVIA

ORVIA, brand yang didirikan oleh Avi berawal tak hanya dari kondisinya, namun juga diperkaya dengan riset yang ia temukan mengenai intoleransi terhadap laktosa. Faktanya, orang Indonesia lebih rentan terhadap intoleransi laktosa. Tak hanya Indonesia, intoleransi laktosa dijumpai pada bangsa Asia, Afrika/Amerika, serta Hispanik/Latin. Kondisi ini jarang ditemukan pada ras Eropa yang secara turun temurun telah terpapar dengan konsumsi susu. 

Tak hanya susu sapi, ORVIA pun juga tidak menggunakan telur, hal ini dikarenakan banyak orang khususnya anak-anak yang tak hanya bisa mengonsumsi susu namun juga telur. Avi menyadari bahwa alergi rata-rata berasal dari produk-produk turunan hewani, sehingga hal tersebut menjadi akar dari seluruh hidangan ORVIA yang berbasis nabati. 

“Keterbatasan terhadap makanan bukan penghalang. Saya ingin menyatukan semua orang dengan makanan yang sama, tanpa membedakan. Instead of berkata “Sekarang lo bisa makan nih” tapi yang diinginkan adalah bagaimana biar bisa berkata “Sekarang kita bisa makan bareng nih” 

Melalui pengalaman menghadapi keseharian dengan penyakit kronis yang dimiliki, Avi meredefinisi hubungannya dengan makanan melalui plant-based diet yang dijalaninya sejak 2017. Kondisinya kian membaik, meski perlu perjalanan panjang untuk berdamai dengan diri sendiri dan menerima kondisinya.

“Buatlah keputusan atas dasar perasaan cinta, bukan takut” pungkas Avi. Ia memandang saat ini, hal yang menjadi pilihan makanannya, sebagai rasa cinta terhadap tubuhnya. 

Rasa cinta ditambah semangat agar dapat memberikan yang terbaik untuk diri sendiri nampaknya menjadi bahan bakar yang membuahkan perubahan tak hanya bagi Avi, tapi juga Max Mandias sang founder di balik plant based brands Burgreens dan Green Rebel Foods.

Max Mandias, founder Burgreens dan Green Rebels | Foto oleh: Burgreens

Max memiliki cerita sendiri di balik pola makan plant-based yang telah dijalaninya lebih dari satu dekade lalu. Pengalamannya tinggal di negeri kincir angin sejak 2006 hingga 2013 membuatnya terekspos dengan memasak, termasuk pola makan plant-based. 

“Banyak yang salah kaprah kalau memiliki dietary restrictions sama dengan memiliki opsi yang terbatas, salad misalnya. Padahal, we’re looking for comfort food, sesuatu yang familiar

Tahun 2012 merupakan titik balik Max terkait kondisi kesehatannya. Kondisi kesehatan baik fisik maupun mental terakumulasi menjadi gangguan depresi. Berangkat dari beragam permasalahan kesehatan yang dialaminya, ia pun memutuskan untuk merubah pola hidup termasuk beralih ke pola makan plant-based. Berangsur-angsur, kondisi kesehatannya membaik, masalah-masalah fisik yang kala itu menderanya, seperti sinusitis dan insomnia berat pun hilang.

Dari manfaat tersebut, ia pun tertarik mendalami cara mengolah makanan yang tak hanya sehat namun juga memiliki cita rasa lezat. Rasa ketertarikannya pun mendorongnya untuk menjadi volunteer di salah satu restoran sehat di Belanda. “Di sini, saya mendengar beragam kisah menarik dari pengunjung restoran yang kebanyakan merupakan orang-orang yang divonis penyakit parah, seperti kanker. Namun, mereka berhasil melewati masa-masa kritis dengan merubah pola makannya”

Rasa percaya diri yang terbangun karena kemampuan memasaknya, bagaimana pola makan yang ia jalani dapat menyembuhkan penyakit yang sebelumnya mengganggu kualitas hidupnya, serta mendengar bagaimana pola makan plant-based dapat menyelamatkan mereka yang mengalami penyakit parah, bak efek domino yang mendorongnya untuk memperkenalkan pola makan plant-based yang telah dijalaninya ke masyarakat Indonesia melalui Burgreens. 

Ekosistem di Indonesia satu dekade lalu bagi mereka yang menjalankan pola makan plant-based jauh berbeda dengan saat ini.

Choices are limited. People go out to socialize, namun dulu, sampai harus berstrategi, misal sebelum pergi, makan terlebih dahulu di rumah, sehingga pas sampai restoran hanya pesan minum saja” kenang Max. Menjadi bahan bercandaan teman pun saat itu sudah menjadi hal yang biasa, ditambah lagi cukup sulit menjelaskan ke keluarga yang kerapkali menanyakan mengapa Max tidak mengonsumsi makanan yang sebelumnya ia sukai. 

Satu dekade kemudian, plant-based restaurants sudah semakin banyak, restoran pun banyak yang memiliki opsi plant-based. Supermarket pun misalnya, di bagian minuman sudah memiliki banyak opsi non-dairy. Branding kemasannya pun sangat modern ketimbang brand di masa lampau. 

Tak hanya bagi mereka yang memiliki kondisi kesehatan atau pola makan tertentu, makanan pada dasarnya adalah obat maupun racun bagi siapapun yang mengonsumsinya. Menjadi lebih mawas diri terkait apapun yang dikonsumsi merupakan pesan yang dapat dipetik. 

Sharima Umaya

Sharima Umaya adalah Head of Business & Content Partnerships dari Feastin’. Senang menulis makanan dari kacamata berbeda, iced latte di pagi hari merupakan kewajiban & hidangan Jepang merupakan favoritnya.

Previous
Previous

Pilihan Makanan dan Korelasinya dengan Emisi Karbon

Next
Next

Refleksi Gaya Hidup Urban Melalui Perpaduan Kopi & Tenis