Akar Restaurant & Bar

Restoran yang menampilkan sudut pandang baru untuk cita rasa Indonesia.

Bebek Bakar Tono Tono di Akar Restaurant & Bar.| Foto oleh Feastin’

Bebek Bakar Tono Tono di Akar Restaurant & Bar.| Foto oleh Feastin’

Jakarta sudah kembali macet. Perjalanan saya dari wilayah Lebak Bulus menuju Gunawarman tak lagi selancar beberapa minggu dan bulan lalu. Motor sudah berani nyerempet, mobil lain juga sudah tak ragu mepet-mepet. Inilah Jakarta yang menegangkan, yang memacu adrenalin, yang membuat saya selalu deg-degan, bahkan dalam perjalanan menuju makan malam. Jalan Gunawarman yang sempat sepi sekarang sudah penuh. Mobil demi mobil parkir di tiap sisi jalan, menaik turunkan manusia-manusia Jakarta yang lapar.

Akar Restaurant & Bar (Akar) adalah sebuah restoran yang tidak tampak dari jalan raya. Tentu kalau bicara eksterior, Akar tidak repot untuk merancang tampak depan yang berusaha megah seperti Sofia at Gunawarman atau pun Kilo yang chic. Lokasinya berada di kanan jalan, di lantai dua bersama dengan Noble yang menyuguhkan santapan Thailand. Apa yang Akar Restaurant tawarkan? Masakan Indonesia.

Restoran bertema Indonesia yang masuk dalam lingkup lifestyle dengan kelas upscale dining di Jakarta sebetulnya bukan hal baru. Dimulai saat Seribu Rasa membuka pintu mereka di Jalan Haji Agus Salim pada tahun 2009, lalu diikuti oleh Tesate di dekade 2010-an, dan kemudian pada tahun 2017 Kaum Jakarta tampil dengan membawa konsep etnic-chic, serta Daun Muda Soulfood oleh Andrea Peresthu dan juga Agneya di kawasan Kebayoran Baru. Walaupun Akar Restaurant adalah pemain baru, Ia datang membawa angin segar yang diperlukan. Terkadang, dalam rangkaian pentas seni, dibutuhkan wajah baru yang bisa menyalakan lagi percikan api semangat para penontonnya, dan Akar membawanya.

Interior yang kasual dari Akar Restaurant & Bar. | Foto oleh Feastin’

Interior yang kasual dari Akar Restaurant & Bar. | Foto oleh Feastin’

Akar memberi sentuhan yang tak terpikirkan sebelumnya dalam mengolah bahan baku dalam khazanah kuliner Indonesia. Chef Mac Gyver mengambil inspirasi dari resep keluarga hingga kekayaan boga Nusantara. Ia tidak terjebak dalam lubang fusion sebagaimana banyak chef muda yang sering memperkosa kuliner Indonesia dengan masakan negara lain. Memang rendang diubahnya dari bentuk klasik menjadi irisan daging short ribs yang dimasak 48 jam, dialasi dengan bumbu rendang yang telah tereduksi hingga pekat, dan kroket “perkedel” dengan tekstur paling lembut hampir seperti croquettas dari Spanyol. Tapi apakah komponen rasa dan tekstur rendang bisa ditemukan di situ? Jawabannya bisa.

Ada lagi bebek tono tono, sebuah hidangan bebek peking yang dipanggang dengan bumbu hybrid seakan dalam mulit kita bisa mencicip sekelebat rasa Bebek Madura, tapi berganti detik rasa lain seperti bumbu Taliwang juga muncul. Dengan padanan sambal mangga, mengingatkan saya dengan perjalanan menuju Bangkalan di Madura dan kami berhenti sebentar untuk melahap Bebek Sinjay di siang hari yang panas. Terkadang saya berpikir, bagaimana cara otak manusia bekerja sehingga bisa muncul ide dan kreativitas seperti ini. Bagaimana kita sampai pada momen di mana minum jamu adalah hal lumrah bagi anak muda penuh gaya, di kawasan elit seperti ini, dan biasa-biasa saja, padahal hanya selang satu dekade lalu konsep minum jamu terkesan kuno dan tak relevan bagi generasi baru. Akar adalah salah satu yang juga menyajikan jamu di dalam menu minuman restorannya, sebagaimana yang juga dilakukan oleh restoran Kaum Jakarta dan beberapa restoran Indonesia modern lainnya di Ibukota.

Dessert di Akar Restaurant & Bar juga menarik. Berada di tangan seorang Kesia Putri, mantan head pastry chef dari salah satu restoran terbaik di Sydney Australia, Bennelong, Kesia membawa pendekatan kontemporer dalam kreasi dessertnya. Seperti hidangan Bayangan Pantai yang pada dasarnya merupakan tribute bagi cita rasa tropis dengan memadukan mousse mangga gincu yang harum, dome dari markisa, hingga parutan kelapa yang dibuat dalam bentuk meringue yang tipis; atau Susu Goreng yang menurut teman yang makan dengan saya mengingatkan dengan memori minum susu panas di pagi hari, lengkap dengan buih susu yang menempel di pinggir bibir.

Susu Goreng. | Foto oleh Feastin’

Susu Goreng. | Foto oleh Feastin’

Yang saya tangkap, Akar merayakan kearifan cita rasa Indonesia dengan cara mereka sendiri: Yaitu membubuhkan perspektif baru terhadap pengolahan bahan baku yang sudah disediakan Bumi Pertiwi. Menyantap masakan kreasi chef Mac Gyver dan chef Kesia Putri dapat dianalogikan seperti pertama kali mendengar album Michael Buble. Lagu-lagu yang dinyanyikannya bukanlah lagu baru. Semua lagu lama, namun dengan cerdas diaransemen ulang oleh David Foster hingga tiap nada dan irama terasa relevan di masa modern, tapi di sisi lain tidak menghilangkan jiwa dan esensi dari nuansa lagu aslinya.

Setelah beberapa kali makan di sini, saya cukup yakin bahwa Akar Restaurant & Bar memiliki potensi untuk jadi restoran destinasi yang diperlukan kota ini. Apakah sekarang sudah sampai dalam posisi tersebut? Mungkin belum, masih ada banyak faktor yang harus diperhatikan. Namun, setidaknya Akar Restaurant & Bar sudah berada di jalur yang tepat.

Bayangan Pantai. | Foto oleh Feastin’

Bayangan Pantai. | Foto oleh Feastin’

AKAR RESTAURANT & BAR

Jl. Gunawarman N0.41, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Detail: Restoran berlokasi di lantai dua di gedung yang sama dengan Noble. Gunakan elevator untuk lebih nyaman.

Instagram @akar.jakarta

Menu Rekomendasi: Udang dengan kuah Lakso; Bebek tono tono; Susu goreng

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Bersantap di August

Next
Next

Jejak Rasa Makassar di Kramat Raya