Antara Siomay dan Salmon

Sebuah perjalanan menemukan identitas diri dalam makanan oleh Michelle King

Apalah arti jarak dan waktu terhadap pandangan kita terhadap makanan? Makanan yang menunggu di bawah tudung saji yang membuat saya merasa seperti anak kecil di hari Natal yang membuka bungkusan kado setiap kali menyingkapnya. Makanan yang menjadi satu-satunya cara merayakan asal muasal nenek moyang, tanah yang bahkan belum pernah saya kunjungi. Makanan ala barat nan eksotis dan mahal yang saya puji pas kecil.

Hari itu hari Minggu, sebut saja tahun 2003. Keluarga kami punya jadwal pakem di hari Minggu. Pagi ke rumah ibadah, meski dari dulu hingga sekarang kalau ditanya ceramahnya tentang apa, saya hanya bisa mengenyahkan pundak. Siang adalah jadwal mingguan kami sowan ke restoran Tionghoa di Jakarta Pusat, Utara, atau Barat, yang meski hanya berjarak setengah jam (ingat, belum ada macet!) terasa seperti dunia lain yang tak terjamah di hari biasa. Banyak hal yang bisa kamu banggakan sebagai anak Jaksel, tapi dim sum, bakmi ayam, dan makanan laut bukan salah satunya. Sesekali, kami ke ITC Roxy untuk beli casing handphone, download lagu MP3, atau window shopping handphone terbaru.

Hari itu hari Minggu, sebut saja tahun 2010. Handphone Blackberry sudah mulai nempel setiap saat. Di kala a-be-ge (anak baru gede) lain memberontak dalam krisis identitas diri, saya menambah pemberontakan dalam bentuk pertanyaan: “Kenapa kita makan dim sum atau makanan Chinese terus setiap minggu? Kenapa nggak coba yang lain, pasta gitu?” Congkak, rasanya pengen saya kelitik dan tempeleng anak itu. “Halah, kenyangnya cuma sampai leher,” ujar orang tuaku.

Saya menukar tontonan siaran “Aroma” yang dipandu Sisca Soewitomo, dan setelahnya acara “Gula-Gula” Chef Bara dengan penelusuran situs Martha Stewart dan Jamie Oliver. Masak coq au vin perlu pakai red wine? Tepung 00 untuk buat pasta dari nol? Sekotak blueberries? Mahal banget! Ikan selar? Nggak deh, mau coba masak salmon. Pemikiran superioritas makanan Barat  menancap, karena bahan-bahan yang terdengar eksotis dan butuh menyisihkan uang jajan lebih untuk didapatkan di Indonesia. Kini, mengingat masa itu membuat saya tergelak. Tanpa waktu dan jarak, kita memang buta terhadap apa yang kita miliki di dalam diri maupun di halaman sendiri.

Hari itu hari Minggu, sebut saja tahun 2017. Saya duduk di teras rumah yang asing dalam sebuah program pertukaran pelajar saat musim panas di Norwegia. Sambil minum teh, bapak ibu yang menampung saya di rumahnya selama dua minggu bertanya: “Apa negara paling indah yang pernah kamu kunjungi, sejauh ini?”. Ngalor ngidul berpikir, aku jawab “Indonesia” jawaban yang nasionalis, mungkin tercetus karena saya bisa menginjak tanah negaranya karena merepresentasikan Indonesia. Sebenarnya, Indonesia tercetus karena saya belum kepikiran negara lainnya saja. Bapaknya berkata, “setiap negara punya kecantikan masing-masing, tidak bisa dibandingkan satu sama lain”. Jawaban yang diplomatis.

Hari itu hari Minggu, sebut saja tahun 2023. Tubuh perempuan tropis ini tidak bisa berbohong. Walau sudah berbalut pakaian hangat dan baju koki, saya masih menggigil kedinginan di dapur. Saya sedang mengikuti kursus masak makanan Perancis dan menu hari ini, “Exotic passion fruit and mango panna cotta”. Aku heran. “Hah, markisa dan mangga.. kenapa disebut eksotis?” Nangka? 200 ribu rupiah per kilogram disana. Saya bisa jadi jutawan!

Saat saya bercermin kembali, waktu dan jarak memberi pelajaran: apa yang melimpah di rumah bukan artinya lumrah di luar sana. Lada hitam saja bikin Indonesia tumpah darah!

Sebagai pelajar Indonesia, kerinduan akan makanan Indonesia hampir selalu konstan terasa. Abon dan teri tempe yang jarang dijamah di Indonesia, diperlakukan sebagai komoditas langka. Tapi pertanyaan selanjutnya tiba: Kenapa makanan Indonesia tidak terlalu populer di luar negeri dan restoran Indonesia adalah sebuah kelangkaan? Apakah negeri kami masih terlalu bingung memaknai dan merembukkan kekayaan makanan Indonesia, hingga belum bertenaga untuk membawanya ke luar?

Pada suatu perjalanan, saya bertemu dengan seorang koki orang Hong Kong yang bekerja di restoran Italia. Dalam percakapan penuh semangat dan gestur tangan ala orang Italia, kami bertanya-tanya hal yang serupa: apa yang membuat kita sulit menghargai makanan kita sendiri? Kenapa makanan Asia cenderung lebih murah? Apakah mereka tidak tahu auntie uncle yang bangun jam setengah tiga pagi untuk melipat siomay dan hakau satu persatu? Saya berefleksi dengan gempuran tteokbokki dan tiramisu yang juga terjadi di Indonesia dan saya mengangguk, berbagi pandangan tersebut dengannya.

Hari itu hari Senin, sebut saja di hari pertama tahun 2024. “Yuk, tahun baru makan dim sum” saya yang berkata dan saya yang paling lahap. Perjalanan membawa saya kembali lagi ke permulaan. Tidak lagi bersembunyi di balik rasa bingung akan identitas sebagai minoritas Indonesia - Tionghoa. “Mam, titip bunga pepaya ya” saya yang berkata dan saya yang memasak tumis teri bunga pepaya dan nasi hangat untuk makan siang. Tidak lagi menganggap derajat makanan lebih tinggi dibanding yang lainnya. Buat saya, makanan membawa arti identitas diri, sejarah keluarga, dan bagaimanapun juga, rasa sayang terhadap negara.

Preferensi makanan setiap orang mengandung cetak biru cerita dan makna, meski butuh jarak dan waktu untuk menyadarinya.

Michelle King

Michelle King menemukan kesenangan di antara dunia makanan dan olahraga sebagai instruktur Barre & Pilates serta nutrition coach, selain hobinya yang juga makan dan berolahraga. Ia juga lulusan Le Cordon Bleu London di jurusan Gastronomy, Nutrition and Food Trends.

Previous
Previous

Catatan Kecil untuk Para Pramusaji

Next
Next

Bersantap Setelah Menjadi Ibu