Catatan Kecil untuk Para Pramusaji

Dalam struktur peran di restoran, posisi pramusaji sering jadi bagian yang lupa untuk dikembangkan. Seperti halnya chef, peran pramusaji tidak kalah penting. Mereka adalah orang yang menjadi garda terdepan dalam pelayanan, bahkan bisa jadi pemegang peran kunci juga dalam kesuksesan sebuah restoran. Tulisan ini saya buat setelah bersantap di sebuah restoran yang mengedepankan ‘experience dining’ milik salah satu FnB group di Surabaya. 

Kurang lebih 20 menit setelah waktu berbuka puasa, saya masuk ke restoran yang menempati bangunan klasik bekas toko buku pertama di Jawa Timur. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1925 ini digubah apik oleh seorang arsitek Indonesia ternama. Suasana ramai di jam berbuka memang menandakan restoran ini menjadi pilihan tempat berbuka yang tepat. Saya yang datang seorang diri tanpa reservasi langsung diarahkan untuk duduk di lantai 2, di sini ‘experience’ saya dimulai. 

Pentingnya Memahami Apa Yang Dijual

Bagian demi bagian dari lembar buku menu yang berbentuk seperti koran saya telusuri. Beragam pilihan menu dari berbagai daerah di Indonesia ada di sini. Meriah, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan rangkain menu yang mengakomodasi kekayaan kuliner 5 kepulauan besar kita. Terlebih deskripsi yang diberikan di setiap menu sangat baik, membuat saya bisa membayangkan rasa dan mengetahui setiap komponen yang akan dihadirkan. 

Untuk hidangan pembuka pilihan saya jatuh pada Naniura, sebuah hidangan ikan khas Tapanuli yang sering disebut sashiminya Indonesia. Untuk hidangan utama, pilihan awal saya jatuh pada Krengsengan Smoked Brisket. Namun karena ingin hidangan yang ada nasinya saya memutuskan bertanya dulu pada sang pramusaji “Yang ini ada nasinya tidak ya?”. Ia menjawab “Ada kak”. Namun belum sempat saya berpikir, ia langsung menawarkan menu lainnya “atau mau yang ini kak, banyak orang pesan”, katanya. 

Saran sang pramusaji mengarah pada menu Soto Mie Djakarta yang menurut deskripsi memang adalah salah satu jawaranya sejak restoran ini berdiri. Namun buat saya yang orang Jakarta, saya butuh diyakinkan kembali. Lantas saya bertanya “Apa spesialnya mas?”. Jawabannya cukup mengecewakan, ia hanya berputar pada komponen dari menu tersebut yang secara jelas sudah tertulis pada menu. Membuat saya bertanya dalam hati “Apakah alasan spesialnya hanya karena banyak dipesan?”. Tapi untuk menguji rekomendasinya, akhirnya saya pesan itu dan hasilnya tidak lebih spesial dari Soto Mie pinggir jalan di Jakarta atau yang ada di restoran lainnya. 

Punya otak sales? Kenapa tidak?

Menu Krengsengan Smoked Brisket adalah salah satu pilihan menu termahal setelah pilihan sajian daging atau steak. Bukannya meyakinkan saya untuk memilih menu tersebut, sang pramusaji justru merekomendasikan menu yang harganya 60 ribu lebih rendah dengan alasan yang sama sekali tidak convincing. Saya pribadi jadi punya pertanyaan dalam hati, “Apakah menu yang dijual dengan harga 145 ribu itu tidak enak? Apakah kualitasnya kurang? Apakah harganya terlalu tinggi untuk hidangan tersebut? Kenapa tidak direkomendasikan?”.

Jadilah pendengar yang baik!

Pertanyaan saya di awal adalah “Yang ini ada nasinya tidak ya?”, ini bisa jadi mengisyaratkan dua hal: saya ingin menu yang ada nasinya atau tidak ada nasinya. Sebaiknya sebagai pramusaji ketika mendapat pertanyaan seperti itu dan ingin memberi rekomendasi memastikan kembali preferensi pelanggan dengan bertanya “Sedang ingin menu yang ada nasinya atau tidak pak/bu?” atau jika ingin lebih dalam tanyakan “Bapak/ ibu sedang ingin hidangan yang seperti apa?”. Dengan cara seperti itu maka akan lebih mudah untuk memberikan rekomendasi yang tepat, bukan sekadar memilihkan menu favorit yang belum tentu menjadi kebutuhan sang pelanggan. 


Punya section lain? Jangan diabaikan.

Karena restoran ini punya bakery yang tidak kalah terkenal, setelah makan saya bertanya pada pramusaji lainnya, “Mas, di sini ada bakery-nya juga gak ya?”. Saya bertanya karena saat masuk saya belum lihat bagian itu, tidak seperti pada cabang lainnya yang pernah saya kunjungi di mana bakery section tersebut bisa langsung terlihat. “Oh ada kak di bawah” ia menjawab. Lantas saya bertanya “Ada apa aja?”. Jawaban ini mungkin akan mudah ditebak, dan saya selalu kesal “Bisa langsung dilihat di bawah kak, soalnya dia beda, di-display langsung” ucapnya. Ia kemudian melanjutkan dengan menyebutkan beberapa jenis pilihan, namun tidak lengkap


Lagi-lagi ini soal memahami kebutuhan pelanggan. Jika tidak ada menu khusus untuk bagian yang terpisah tersebut sebaiknya sebagai seorang pramusaji bisa berinisiatif dengan menjawab “Sebentar ya kak saya cek terlebih dahulu” lalu kembali dengan pilihan menu atau rekomendasinya. Ini juga jadi catatan penting bagi pengelola restoran ketika memiliki bagian yang berbeda. Penting untuk menyediakan menu sehingga pelanggan tidak harus berjalan dari lantai 2 ke lantai 1 khusus untuk memilih pilihannya. Ingat, tidak semua orang mau naik turun untuk sekadar memilih pastry pilihannya. 

Keempat hal diatas menunjukkan betapa kompleksnya skill komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang pramusaji dalam menghadirkan hospitality terbaik. Poin ini menjadi sangat krusial bahkan bisa jadi penentu kembali atau tidaknya seorang pelanggan ke suatu restoran. 

Selain itu, sebetulnya masih ada beberapa hal lainnya yang perlu menjadi perhatian juga dari seorang pramusaji. Misalkan saja kepekaan dalam melihat kebutuhan setiap konsumen yang berbeda seperti menawarkan basket untuk meletakkan tas jika ada, menawarkan baby chair, atau menawarkan penyimpanan jas atau coat. Sederhana namun bisa sangat memikat.

Menghadirkan pengalaman bersantap yang baik bukan sekadar mencatat menu dengan tepat, memastikan menu terhidang, mengantarkan makanan dengan baik, atau menyambut pelanggan dengan ramah.

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Kerak Telor dan Pekan Raya Jakarta: Tak Terpisahkan, Namun Menyedihkan

Next
Next

Antara Siomay dan Salmon