Kerak Telor dan Pekan Raya Jakarta: Tak Terpisahkan, Namun Menyedihkan

Kerak Telor, Kuliner khas Betawi | Foto oleh: Indonesia Kaya

“Di mana saya bisa beli kerak telor?”

Mungkin akan selalu ada jawaban yang hampir sama untuk pertanyaan itu: “Di PRJ”, merujuk pada acara tahunan Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau kini lebih akrab disebut dengan Jakarta Fair. Acara yang hanya hadir satu tahun sekali pada momen perayaan ulang tahun Kota Jakarta. 

Saya sendiri pertama kali mencicipi kerak telor pada tahun 2008, saat pertama kalinya ke PRJ. Sejak saat itu memori akan pengalaman pertama menyantap kerak telor dan PRJ begitu melekat. Di manapun saya membeli dan menyantap kerak telor, memori saya tidak akan pernah lepas dari pengalaman pertama yang berkesan. Jajaran belasan pedagang kerak telor berdagang di pinggiran jalan Kemayoran, tepat di luar pagar JIExpo. Romantis memang kelekatan kuliner khas Betawi ini dengan PRJ. Namun semakin ke sini saya jadi melihat ini sebagai sesuatu yang menyedihkan.

Mengapa kuliner khas Jakarta, ikon sebuah kota, tidak mudah ditemui di mana-mana? Contoh saja jika bermain ke Bandung, kita akan dengan mudah menyebutkan di mana cireng, mie kocok, seblak, atau batagor yang enak. Bergeser ke Yogyakarta, mudah untuk menyebutkan gudeg dan sate klatak yang patut dicoba. Atau di Palembang, mudah untuk mengetahui rekomendasi pempek, tekwan, atau mie celor. Begitupun saat di Makassar, mudah untuk merekomendasikan sop konro atau coto Makassar.

Pedagang kerak telor di Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair 2024 | Foto oleh: KOMPAS.com / Baharudin Al Farisi

Tapi, mari lupakan itu sejenak dan kembali pada pembahasan kerak telor. Saya pun jadi bertanya-tanya, jika kerak telor hingga hari ini belum jadi hidangan yang dicari sehari-hari baik sebagai snack, hidangan utama, maupun opsi makanan di waktu-waktu tertentu, bagaimana untuk memastikannya lestari tidak hanya saat momen PRJ? Di mana dan bagaimana para pelestari kerak telor berjuang sehari-hari? Bagaimana kerak telor harus menghadapi persaingan bukan hanya dengan sesama kuliner lokal tapi juga kuliner negara lainnya seperti crepes, pajeon, atau nai mong hoy tod? Belum lagi dengan isu harga sewa lahan untuk para pedagang kerak telor di PRJ oleh pihak ketiga yang dipatok mencapai 17 juta tahun 2023 lalu. 

Mengglorifikasi kerak telor sebagai ikon PRJ tidak seharusnya menjadi sesuatu yang dibanggakan setiap tahunnya. Jika kerak telor ‘rasanya’ dibuat hanya dapat dinikmati setahun sekali, sepertinya ada yang perlu dibenahi dan dicarikan solusi. Ingin rasanya mudah menemukan pedagang kerak telor di setiap sudut Jakarta. Layaknya penjual ragam gorengan, dimsum, roti prata, martabak, bahkan tteokbokki. 

Bayangkan menemukan gerai kerak telor mengisi salah satu ruang di berbagai foodcourt atau food area dalam pusat-pusat perbelanjaan dengan tampilan yang menarik dan dipercaya. Tidak bisakah kerak telor tersentuh inovasi atau sekadar diberi sentuhan kreasi dengan beragam varian? Apakah karak telor harus ‘terpenjara’ dengan cara berjualan yang menggunakan pikulan dari tempat ke tempat? Rasanya bisa-bisa saja untuk mencobanya beradaptasi dengan zaman. 

Modernisasi kuliner tradisional sebetulnya bukan sesuatu yang sulit atau pun salah jika dilakukan dengan benar. Jika gudeg bisa melintas benua lewat versi kaleng, kebab Turki bisa merajalela di Indonesia dengan gerobak kaki lima, atau takoyaki bisa hadir di mall dengan ratusan gerai, mengapa tidak untuk kerak telor?

R. Calvin Budianto

R. Calvin Budianto merupakan Head of Community di Feastin’. Memesan menu yang terdengar paling kompleks dan paling simpel adalah hobinya.

Previous
Previous

Membuat Cokelat Lokal Benar-Benar Inklusif: Masa Kecil, Eksklusifitas, dan Gaungan Bean to Bar

Next
Next

Catatan Kecil untuk Para Pramusaji