Perjalanan Mencari Kue Dapel: Kudapan Manis yang Terlupakan dari Pekalongan

Kue Dapel yang melekat dengan memori masa kecilnya membawa Angela Jessica melakukan perjalanan untuk mencarinya ke Pekalongan

Aku berjalan menuju stasiun Tugu, Yogyakarta di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Sudah kubulatkan tekad untuk menuju sebuah kota di pesisir utara Jawa Tengah. Kota batik yang biasa disebut Pekalongan. Perjalanan singkat ini bertujuan untuk mencari sebuah kudapan yang hampir hilang. Sebuah kenangan kuliner bersama Ibuku saat kecil. Kudapan tradisional itu dikenal dengan nama kue dapel. Aku hanya menemukan tiga toko, tetapi hanya satu yang mengingatkan akan kenangan masa kecilku.

Kue dapel atau kue gedang dikepel – kepel, merupakan sebuah kudapan tradisional Pekalongan yang sudah terbilang langka. Kue ini terbuat dari campuran tepung, air, gula, dan pisang sobo. Pisang sobo sendiri lebih dikenal dengan sebutan pisang kepok. Pada suatu hari saya mencari salah satunya yang dikelola oleh pasangan suami istri bernama Bapak dan Ibu Juffrianto. Cerita kedua pasangan ini merupakan sebuah pengingat tentang ketekunan dan pelestarian tradisi.

Bapak dan Ibu Juffrianto merupakan pasangan yang berasal dari kota Semarang yang mengawali karier mereka menjadi pedagang kayu, lalu beralih haluan menjadi pedagang lumpia, sebelum akhirnya menetapkan hati untuk menjadi pedagang kue dapel. Keluarga Pak Juffri telah membuat kue dapel sejak tahun 1960, sebuah warisan yang dimulai oleh neneknya. Dahulu mereka menjual kudapan ini di alun – alun Kota Pekalongan. Seiring berjalannya waktu, resep keluarga ini diwariskan dari generasi ke generasi yang melahirkan beberapa toko kue dapel di beberapa sudut Kota Pekalongan. Namun kini, salah satu toko terakhir yang tersisa hanya ditemukan di depan sebuah supermarket di Jalan Dr. Wahidin.

Pak Juffri sendiri merupakan generasi ketiga yang telah berjualan sejak tahun 2005 dan sudah mengabdikan diri lebih dari 20 tahun untuk melestarikan kue tersebut. Kini, hanya ia dan istrinya yang masih setia membuat kue dapel. Panasnya bara api arang yang harus dijaga sepanjang berjualan, serta proses membolak–balikkan kue dengan telaten, membuat anak–anak dari generasi kedua keluarga ini enggan untuk meneruskan usaha keluarga ini.

Setiap hari, mereka menyiapkan lebih kurang dua kilogram adonan dan sekitar sepuluh sisir pisang sobo, yang dapat menghasilkan 100 buah kue dapel. Bayangkan saja harus duduk berjam – jam di depan bara yang menyala, mengatur besar kecilnya api yang digunakan dengan sabar, dan memastikan kue matang dengan sempurna. Semua itu sangat membutuhkan ketekunan, ketahanan, dan dedikasi tinggi untuk menjaga warisan kuliner yang hampir punah. Saat melihat mereka bekerja, muncul pertanyaan dalam benak, berapa lama lagi kue dapel bisa bertahan, apakah generasi berikutnya akan mengambil alih, atau tradisi ini akan hilang ditelan waktu? Untuk saat ini, setidaknya api masih menyala, dan cita rasa kue dapel tetap menjadi cita rasa tersembunyi di jantung Kota Pekalongan.

 Keesokan hari, saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju tujuan saya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat saya menginap. Saat semakin mendekati tempat tujuan, tiba – tiba saya disambut oleh suara hangat yang familiar. Sebuah percakapan yang sudah dinanti.

“Nok, Ibu dari tadi pagi ngalem – ngalem sama Bapak kapan sih Nok nya datang lagi kesini. Eh, ternyata siang nya si Noknya datang “

“Ibu, halo” Saya menyapa Ibu

“Tunggu Bapak dulu, Nok. Bapak baru saja keluar sebentar lagi juga kembali.”

Dari kejauhan saya sudah bisa melihat wajahnya tersenyum hangat. Saya pun menyambut dengan sapaan penuh kehangatan untuk memulai percakapan.

“ Bapak, halo. “

Ada kehangatan yang dirasakan dalam bagaimana cara mereka menyambut kembali saya, seolah–olah saya kini sudah menjadi bagian kecil dari kisah mereka. Saya mulai berbincang tentang sejarah kue dapel dalam keluarga Bapak. Kue dapel telah diwariskan dalam keluarga Pak Juffri selama beberapa generasi, dan hingga saat ini, resep peninggalan sang nenek tetap menjadi dasar dari semua kue dapel yang mereka buat. Setiap pukul lima subuh, ia memulai hari dengan pergi ke pasar untuk mendapatkan bahan – bahan terbaik.

“ Semuanya harus segar, Nok. Saya engga boleh telat, kalau telat, bahan yang paling bagus sudah pada habis dibeli orang. “

Bapak pergi ke pasar Sorogenen untuk membeli bahan–bahan kue. Keranjang yang penuh belanjaan dibawa kembali kerumah untuk mempersiapkan adonan sebelum ia berangkat ke toko kecil mereka. Rutinitas ini telah menjadi irama setiap hari dalam hidup mereka. Irama yang dipenuhi cinta, dedikasi, dan tekad yang tak tergoyahkan untuk menjaga keberlangsungan kudapan ini.

Mereka mulai menata toko kecil mereka sekitar pukul 10 pagi, dilanjutkan merapikan peralatan yang hendak dipakai, serta arang-pun mulai dinyalakan dengan hati–hati. Mereka akan berjualan hingga pukul tiga atau empat sore, atau sampai dagangan mereka habis. Bara arang yang mulai dinyalakan tersebut mulai merambatkan panasnya ke cetakan berbahan dasar kuningan yang telah dipakai bertahun–tahun oleh Bapak. Sebagai catatan, cetakan ini keberadaannya sudah mulai langka, dan untuk mencarinya harus pergi ke kota Tegal, dimana harga untuk membelinya dapat dianggap tak cukup murah. Cetakan ini dipilih dikarenakan penghantaran panas yang baik serta dapat memasak kue dapel secara merata walaupun dengan suhu bara arang yang cukup tinggi. Cetakan yang sama seperti yang digunakan oleh generasi pendahulu juga merupakan cetakan yang sama dimiliki oleh ibu saya. Cetakan tradisional yang penuh nostalgia, dengan bentuk bunga atau heksagonal.

Bapak memilih bentuk heksagonal sebagai ciri khasnya, menjadikan setiap kue dapel yang ia buat memiliki keunikan tersendiri. Adonan yang telah disiapkan di rumah memiliki tekstur yang lembut tetapi kental, sementara pisang sobo yang sudah matang mulai dipotong kecil – kecil untuk dicampurkan kedalam adonan yang sudah siap untuk dipanggang. Proses pembuatan kue dapel masih tetap tradisional seperti dahulu, dimasak di atas bara arang dengan cetakan yang telah disiapkan. Saat cetakan, yang telah dipanaskan, dibuka, langkah pertama diambil yaitu memoleskan mentega untuk menghindari adonan yang menempel di cetakan, adonan pun secara perlahan mulai disendokan secara hati – hati. Seketika, suara desisan terdengar ketika adonan bertemu dengan panasnya cetakan.

Dengan pengalaman bertahun – tahun, Bapak dengan cekatan membalikan cetakan, memastikan adonan merata, lalu meletakannya kembali di atas bara arang. Bapak dengan hati – hati memeriksa tingkat kematangan setiap kue dapel. Hanya membutuhkan waktu dua sampai tiga menit hinggal kue dapel matang. Aroma manis vanili dan gula yang terkaramelisasi mulai memenuhi udara. Sementara kue dapel dipanggang, saya melihat Ibu Juffri dengan teliti melipat kotak – kotak kecil, mempersiapkannya untuk mengemas kue dapel. Sementara itu Pak Juffri mulai memangkas sisa – sisa adonan yang meluber di pinggiran cetakan, memastikan setiap kue terlihat rapi dan seragam. Dengan terampil, ia memastikan kematangan setiap kue tepat. Setiap gerakannya cepat dan sudah terlihat naluriah. Meskipun kue dapel matang dengan cukup cepat, aromanya yang kaya dan menggoda membuatnya sulit ditolak. Penasaran dengan aroma khas kue dapel, saya bertanya kepada Bapak,

 “ Pak, apa yang membuat aroma kue dapel ini menjadi khas ? “

“ Kulit jeruk, vanili, dan pandan.” Jawab Pak Juffri dengan senyuman,

Mendengarnya hanya semakin meningkatkan antisipasi saya. Saya mulai tidak sabar untuk mencicipi kue dapel hangat yang baru matang. Menyadari kegembiraan saya, Ibu Juffri menatap saya dan bertanya,

 “Nok, kenapa jauh – jauh kesini untuk mencari kue dapel? Memang di tempat Nok tidak ada?”

Saya tersenyum sambil menjawab. “ tidak ada bu. Saya kemari untuk mengenang Ibu saya. “

Kue dapel merupakan salah satu camilan kesukaan ibu. Saya punya beberapa kenangan manis saat bepergian ke Pekalongan bersama Ibu, dimana ia selalu mencari kue dapel. Kenangan itu tetap melekat di hati saya. Kehangatan dan manisnya kue dapel selalu mengingatkan saya pada kehangatan dan manisnya kehadiran beliau.

 Membuat kue dapel membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Membolak–balikan cetakan, menjaga suhu bara arang, dan memastikan tingkat kemantangan yang tepat merupakan kunci. Hal penting yang membuat penantian tidak tertahankan adalah aromanya yang khas itu.  “Pak saya beli dua puluh, “ saya menyeletuk spontan kepada Bapak. Kami semua sontak tertawa bersama. Sebuah momen kecil yang sarat akan makna.

 Aroma vanili itu memang tidak berbohong. Hangat dan harumnya dari kue dapel memang sungguh memikat. Teksturnya lembut, empuk dan sedikit berongga, didalamnya terisi banyak potongan pisang sobo. Perpaduan manis yang pas antara rasa adonan kue dapel dan manisnya pisang sobo yang terkaramelisasi. Rasa kue dapel ini manis dengan sedikit aroma terfermentasi yang juga memberikan kontribusi pada tekstur dan kedalaman rasa pada kue ini. Pada saat gigitan pertama itulah muncul perasaan yang selama ini hilang. Harumnya yang akrab itu membawa saya kembali ke pelukan ibu, kembali ke waktu yang pernah saya lewatkan bersama. Kembali kepada manisnya kasih sayang Ibu yang tak akan lekang oleh waktu.

 Saya sangat berharap kedua pasangan ini tetap menjaga tradisi ini. Saya berdoa kue dapel tetap dilestarikan tidak hanya di Pekalongan tetapi juga ke kota yang lain. Sayapun menantikan kedatangan kue dapel Pak Juffri di Jakarta, agar saya dapat terus kembali menikmati kudapan tradisional kampung halaman Ibu saya, satu gigitan demi satu gigitan.

Angela Jessica

Angela merupakan seorang baker di toko online miliknya, SaintSorin Bakes. Saat ini, ia sedang menggarap Unplugged Society, sebuah komunitas digital detox.

Previous
Previous

Makan Bersama dengan Kenalan Baru

Next
Next

Bika Ambon & Lapis Legit, Tragedi di Gerbang Wawasan Kue Indonesia