Mikael Mirdad, Impresario New Nightlife Jakarta

Cerita Mikael Mirdad mendirikan BIKO Group sebagai salah satu pemain utama food and beverage di Jakarta, terutama dalam hal nightlife.

Mikael Mirdad

Mikael Mirdad

“Halo apa kabarnya? Apa nih yang bisa saya bantu?” ujar seorang pria tinggi, memakai t-shirt Patagonia abu-abu dan topi berjenis new era. Suaranya sangat lantang namun terdengar familiar dan ramah. Ialah Mikael Mirdad, sosok yang mendirikan grup restoran BIKO bersama kedua temannya dan berhasil membawa BIKO sebagai salah satu pemain yang sangat diperhitungkan dalam kancah food and beverage Jakarta.

BIKO sendiri sudah memiliki total 11 portofolio di ibu kota, mulai dari Beer Garden di tiga lokasi di Jakarta, Beer Hall di SBD, Lola dan Fujin di Gunawarman, Pao Pao di Senopati, Mother Monster di Plaza Indonesia, Pippo di Senayan City, hingga yang menjadi buah bibir yaitu Duck Down Bar di Gunawarman dan Duck Down Pizza Party di Kemang. Walaupun usia grup ini terbilang lebih muda dibandingkan pemain food and beverage lainnya di Jakarta, mereka berhasil menjadi penggerak nightlife ibukota dengan membawakan konsep-konsep baru dan unik, seperti Beer Garden yang memulai demam beer-only venue; Pao Pao yang menekankan konsep Eastern bar pertama di Jakarta; serta yang terbaru Duck Down Bar yang sangat identik dengan college bar di komunitas Barat dan menjadikan karaoke bar sebagai demam baru kaum urban ibukota.

Kami berbincang dengan Mikael Mirdad tentang bagaimana Ia mendirikan BIKO dari nol, visinya ke depan dan pembelajaran penting yang didapatnya.

Feastin’ (F): Boleh diceritakan bagaimana sosok Mikael Mirdad sebelum BIKO?

Mikael Mirdad (MM): Menariknya, background saya adalah journalism, media art dan production. Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan advertising bernama Dentsu. Lalu setelah itu saya pun mendirikan bisnis pertama saya bersama beberapa orang bernama If. Formatnya mirip dengan majalah Time Out atau Broadsheet. Namun sepertinya hal ini tidak berhasil, saya pun keluar karena ada masalah internal ketika itu.

F: Kapan pertama kali memulai usaha di food and beverage dan bagaimana idenya?

MM: Nah, ceritanya itu rumah saya khan di wilayah Kemang. Dekat rumah saya ada sebuah mini market yang saat itu masih banyak anak muda yang suka jongkok nongkrong di depannya. Pemikiran saya sederhana saat itu: bagaimana kalau saya buatkan tempat yang proper, mereka bisa duduk-duduk, ngobrol asik, dengan playlist musik yang juga mendukung, pelayanan juga oke, pasti mereka mau. Akhirnya pada tahun 2010 saya dan kedua teman saya Freggy Yohanes dan Agung Prayudi membuka Beer Garden pertama di Jakarta di Kemang.

F: Ketika itu Anda masih sangat muda, berusia sekitar 24 tahun saat memulai Beer Garden. Pembelajaran apa saja yang Mikael dapat?

MM: Sebenarnya ada satu fakta yang menarik soal memulai bisnis ini. Saya dan kedua teman waktu itu benar-benar masih belum paham betul dunia food and beverage, jadi taktik kami ketika itu adalah harga harus lebih kompetitif dengan tempat lain. That’s it. Nah, saya tidak menyangka dalam waktu beberapa bulan modal saya sudah balik, jujur kaget bukan main. Setelah satu tahun, kami pun memberanikan diri untuk membuka outlet kedua di SCBD, kemudian yang di Menteng dan di Radio Dalam. Jujur hal ini memberikan kepercayaan diri besar kepada kami para pendiri, walau pun pada awalnya banyak sekali pembelajaran keras yang kami dapatkan.

Saya ingat waktu awal-awal kami memulai Beer Garden, semuanya hampir kami lakukan sendiri mulai dari beli minuman sampai melatih staf. Dan memang kalau sudah urusan human resource itu memang paling sulit, bahkan sampai sekarang. Bahkan kami pernah merasakan uang dibawa kabur atau ditipu oleh orang lain.

F: Kapan Beer Garden akhirnya menjadi BIKO dan boleh ceritakan bagaimana BIKO memposisikan dirinya sebagai pemain di Jakarta?

MM: BIKO sendiri resmi kami dirikan pada tahun 2012 setelah kami rasa sudah saatnya serius. Saya selalu berkata kepada tim kita bahwa kita harus bisa memberikan experience baru bagi pelanggan. Seperti Beer Hall yang menjadi tempat pertama di Jakarta yang menyajikan craft beer on tap; Fujin yang menyajikan teppanyaki dalam menu a la carte; hingga Duck Down Pizza Party yang menggabungkan feel nyeleneh dari Duck Down Bar namun dengan menu dari award-winning chef, Bjorn Shen.

F: Banyak yang melihat Anda sebagai anak muda yang sukses - dan memang betul melihat berkembangnya perusahaan- namun bagaimana pendapat Anda sendiri?

MM: Saya itu paling merasa tidak enak atau terkadang suka sebel sendiri kalau ketemu dengan orang dan langsung mereka berkata, wuih sudah sukses ya sekarang, hebat banget lo. Karena mereka tidak tahu berapa banyak biaya “belajar” yang sudah terbuang melalui banyak kejadian yang tidak mengenakan. Saya juga ingat kata-kata dari seorang teman yang saya masih ingat hingga sekarang.

Dia bilang kalau saya membuka satu restoran atau bar dan sukses, itu beginner’s luck. Saya berhasil membuka yang kedua, itu berarti sudah lebih pintar namun masih termasuk beginner’s luck. Kalau sudah membuat yang ketiga dan berhasil, berarti terbukti sudah pintar. Namun bukan berarti masalah selesai kata dia. Berikutnya ego antar owner akan bermain, di sinilah ditantang betul bagaimana saya dan partner supaya bisa tetap kondusif.

F: Seperti yang banyak dibicarakan oleh kaum urban penikmat makanan, bahwa kita sedang memasuki era baru dalam hal nightlife, bagaimana menurut Mikael dari perspektif industri dan salah satu pemain dalam food and beverage?

MM: Menurut saya, Jakarta itu beberapa tahun ke belakang terkesan monoton dalam hal food and beverage, latah lah kalau bisa dibilang. Bahkan hingga ke playlist-nya, termasuk tempat kami. Namun saya melihat bahwa sekarang hingga ke depan, outlet food and beverage termasuk nightlife venue akan mulai banyak merepresentasikan karakter dari sang pemilik, sehingga tempat tersebut akan memiliki identitas. It’s not just about following the trend atau apa yang laku dan yang tidak laku atau hanya itu-itu saja. Contoh Duck Down Bar muncul dari kenangan nostalgia saya selama sekolah di luar negeri dan seru-seruan bersama teman di bar yang menjadi tempat kumpulnya anak-anak kampus. Karakter yang muncul tentu akan memberi warna tersendiri bagi tempat tersebut dan akhirnya memberikan experience yang unik terhadap pelanggan.

F: What is your working style sebagai kapten dari BIKO?

MM: Saya sempat dahulu sangat micromanaging. Bahkan bisa dibilang BIKO itu sempat terlalu centralized ke diri saya. Namun saya merasa hal itu tidak baik. Seiring perusahaan berkembang, seiring tim bertambah dan semakin lengkap, saya bisa mempercayakan seluruh tugas kepada mereka masing-masing. Saya sendiri sekarang lebih bertugas untuk memikirkan bigger picture tentang perusahaan. I’m proud to say that i’m no longer working like dictatorish but more democratic, haha.

F: Sepuluh tahun ke depan, bagaimana Anda melihat posisi BIKO?

MM: Yang saya lihat, ke depan BIKO akan semakin memantapkan diri kita dalam industri food and beverage bukan hanya di Jakarta tapi juga di Indonesia.

F: Baiklah, ini pertanyaan terakhir. What is a definition of good life according to Mikael Mirdad?

MM: Good life buat saya adalah sebuah kehidupan yang seimbang. Bisa membagi adil waktu bekerja dan waktu beristirahat sangat penting. Begitu juga membagi waktu yang seimbang dengan keluarga dan teman-teman. Sebagai kaum urban, a good life juga berarti bisa membagi waktu tinggal di kota besar dan kembali menikmati alam bebas. Yang jangan dilupakan juga adalah membagi waktu antara dengan orang banyak serta memiliki me time yang cukup. But above all, bisa tidur nyenyak dan merasa aman dan damai jugalah bentuk dari kehidupan yang baik menurut saya.

 

 

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Dear Restaurant, Salahkah Saya Makan Sendirian?

Next
Next

Meet Firmansyah Mastup, Founder of Jakarta Vegan Guide