Yes, Makanan Memang Obsesi Kami

Curahan hati kami para pencinta makanan.

image.jpg

Kok suka banget sih makan, mending uangnya buat yang lain!” 

“Makan kan yang penting kenyang, ngapain keluarin uang banyak-banyak cuma buat makan.”

Kedua pernyataan di atas sudah tak asing lagi terdengar di telinga kami. Banyak sekali yang mempertanyakan mengapa kami kerap kali menyambangi spot makan terbaru di ibu kota, mengapa kami memilih untuk menghabiskan sebagian besar dari uang yang kami miliki untuk sesuatu yang kata mereka, hanya akan berakhir di perut saja? Namun, apakah benar demikian?

Selayaknya para fashionista yang ingin dimengerti saat mereka belanja baju atau tas yang sudah diiincar; kolektor action figure yang terus berusaha untuk melengkapi koleksi yang mereka miliki; atau pelancong yang lebih memilih untuk menghabiskan uang yang mereka miliki untuk pengalaman mengunjungi tempat-tempat yang sudah menjadi bucket list; para pencinta makanan pun ingin dimengerti, bahwa memang makanan merupakan obsesi kami.

Makanan apa yang ingin disantap adalah pertanyaan yang selalu muncul dari bangun tidur, hingga kembali ke pulau kapuk untuk mengakhiri hari. Tenang, kami tentunya memiliki daftar tempat makan yang ingin dikunjungi untuk memanjakan seluruh indera. Setiap hari adalah petualangan bagi kelima indera yang kami miliki, mulai dari aroma yang kami hirup, yang seolah-olah mengundang untuk memasuki suatu rumah makan; suara yang muncul saat hidangan yang kami pesan dimasak, seperti suara minyak panas yang bak hujan saat sedang menggoreng; presentasi makanan yang disajikan yang menurut kami sama indahnya dengan melihat sebuah karya lukisan; hingga pada akhirnya makanan tersebut masuk ke mulut kami dan menampilkan ragam spektrum rasa yang penuh warna di lidah. Ditambah lagi, berbagai elemen tak benda - emosi - yang kerap kali menyunggingkan senyum di wajah: Membayangkan tempat makan yang akan kami kunjungi, perjalanan yang kami tempuh untuk sampai di tempat makan, sambutan yang asik oleh pelayan di tempat makan, suasana di restoran dengan berbagai cerita di baliknya, ah, kami memang terobsesi tak hanya pada makanan, namun juga pengalaman bersantap secara keseluruhan.

Makanan pun merupakan kawan kami dalam tiap suasana. Saat gembira, saat berkumpul dengan keluarga atau teman, bercengkrama di restoran favorit atau sekadar berkumpul di rumah untuk menyantap hidangan yang resepnya sudah turun temurun disajikan oleh keluarga adalah kegiatan yang kami nanti-nantikan. Ketika sedih pun, cemilan favorit pun dapat mempengaruhi mood secara signifikan – kendati solusi dari permasalahan belum ada, namun, kehadiran cemilan favorit mampu meredam suasana. Cokelat, es krim, dan comfort food lainnya seakan memantik api semangat di tengah kesedihan yang kami alami.

Kami pun tahu bagaimana rasanya ketika kami tidak bisa mengikuti diskusi seru saat teman-teman membicarakan serial terbaru yang muncul di Netflix, karena kami lebih memilih untuk menyaksikan series yang menampilkan biografi chef berbakat dan perjalanan untuk menjajal tempat-tempat terbaik di berbagai kota di dunia. Di saat teman-teman kami menolak untuk mengantri di suatu tempat makan yang kami sangat sukai dan memang penuh perjuangan untuk mendapatkannya, kami dengan sabar mengantri karena kami tahu satu hal: kepuasan yang kami dapatkan saat makanan tersebut masuk ke mulut kami. Di kala teman-teman kami tak mau menemani kami pun, kami tak gentar untuk pergi makan sendiri karena pergi ke suatu tempat makan seorang diri merupakan bentuk menghargai diri. Makanan memang obsesi kami.

Kami merupakan orang yang akan dituju apabila mereka bingung soal tempat makan. Saat bepergian, kami pun dipercaya untuk membuat list dimana saja kami harus bersantap, walaupun berdebat dengan teman-teman saat merencanakan itinerary perjalanan sudah biasa karena preferensi utama kami merupakan makanan. Kami hanya ingin menelusuri hingar bingar pasar tradisional di kota yang kami kunjungi, berjalan tanpa arah dan memasuki restoran sesuai intuisi kami, atau ke museum tertentu di mana kami dapat menyelami lebih lanjut mengenai sejarah dan budaya makanan tertentu.

Kami juga secara natural memiliki naluri untuk mengamati makanan. Kami tahu bagaimana mendeskripsikan makanan yang kami santap dan membuat orang yang mendengarkan kami, menjadi tertarik dengan apa yang kami deskripsikan. Kami sangat tahu, bahwa banyak hal yang mempengaruhi enak atau tidak enaknya suatu hidangan. Proses dari pembuatan makanan merupakan suatu hal yang sangat kami hargai, mulai dari petani, nelayan, para artisan yang mempersiapkan bahan baku dengan tekun dan dalam waktu yang tidak sebentar, bagaimana para chef mengolah bahan-bahan baku tersebut dengan piawai hingga terbitlah suatu hidangan yang spektakuler.

Mengeluarkan uang lebih untuk mencicipi bahan baku premium tertentu pun, walau terkadang membuat orang terheran-heran, adalah sesuatu yang kami senangi karena kami tahu betul bahwa hal tersebut akan membuat indera perasa kami bersorak sorai. Ootoro atau chutoro ketimbang tuna biasa, wagyu dengan marbling 9+ ketimbang daging sapi biasa, memang akhirnya akan mengejutkan saat bill datang ke meja, tetapi mengingat pengalaman bersantap kami, kami tak ragu untuk melakukannya lagi dan lagi. Kami memang terobsesi pada makanan – namun tak hanya itu, sesungguhnya kami gusar.

Kami pun iri dengan ekosistem makanan yang telah dewasa di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Perancis, atau Italia misalnya. Kami percaya bahwa negeri ini memiliki banyak potensi yang bisa digali apabila kita membicarakan soal makanan, bahwa negeri ini tak sekadar rendang atau nasi goreng saja. Kami ingin masyarakat Indonesia, sama halnya dengan kami: Terobsesi pada makanan dan dapat menjadi duta untuk menceritakan kuliner Indonesia yang begitu kaya.

Kami terobsesi pada makanan dan mendambakan masa di mana media dipenuhi oleh artikel-artikel informatif mengenai bahan baku dan hidangan Indonesia yang beragam, dari Sabang hingga Merauke. Kami menanti momen di mana informasi mengenai makanan tak sekelebat menceritakan restoran dengan interior atau konsep yang kekinian. Kami akan terus berjuang agar negeri ini dapat memiliki obsesi yang besar terhadap makanan, dan saat di mana konten makanan yang berkualitas menjadi pedoman bagi masyarakat untuk terus memperkenalkan hidangan Indonesia ke seluruh penjuru dunia.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Eating Out: What We Miss The Most

Next
Next

Penerus Legenda Soto Betawi, Mufti Ma’ruf