Penerus Legenda Soto Betawi, Mufti Ma’ruf

Kenalan dengan Mufti Ma’ruf, generasi ketiga penerus legenda kuliner Soto Betawi H. Ma’ruf

Mufti Maruf.jpg

Jakarta punya banyak makanan yang menjadi ikon, salah satunya soto Betawi. Di antara banyaknya soto Betawi yang digemari di Jakarta, ada satu nama yang telah masuk ke dalam league of legends kuliner nasional, yaitu Soto Betawi H. Ma’ruf. Soto Betawi milik Haji Ma’ruf ini sudah berusia 79 tahun pada 2019, sebuah warisan rasa turun temurun yang dimulai dari seorang Haji Ma’ruf, diturunkan kepada anaknya Muchlis, dan sekarang tongkat estafet jatuh ke generasi ke-3, yaitu Mufti Maulana (27).

Awalnya, Haji Ma’ruf menjual soto Betawi sekitar tahun 1940-an menggunakan pikulan. Saat anaknya yaitu Muchlis mengambil alih, Jakarta sudah masuk era modern dengan mulai banyaknya masakan asing yang masuk, terutama fast food dan Western food. Keuletan Muchlis Ma'ruf rupanya berhasil untuk tetap membuat Soto Betawi H. Ma’ruf bertahan dan masih digemari hingga sekarang.

Feastin’ mendapat kesempatan untuk ngobrol dengan seorang Mufti Ma’ruf di mana masa depan Soto Betawi H. Ma’ruf saat ini berada di tangannya. Dari dinamisnya industri food & beverage, mempertahankan autentisitas, sampai menjaring millenial untuk menjadi konsumen berikutnya.

Feastin (F) : Boleh diceritakan latar belakang Mufti sebelum bergabung dalam bisnis keluarga ini?

Mufti Ma’ruf (MM): Background saya adalah Teknologi Informasi (IT) dari Universitas Bina Nusantara. Jujur pada awalnya saya agak setengah hati untuk mengurus usaha keluarga karena ingin merasakan bekerja di perusahaan sehabis kuliah, terutama perusahaan start-up yang sekarang ini sedang diminati oleh generasi milenial.

Namun waktu itu ayah saya cerita tentang rencana pengembangan usaha Soto Betawi H. Ma’ruf dan tentu saja harapannya adalah agar usaha keluarga ini tidak jatuh ke tangan orang lain sebagaimana beliau dulu meneruskan tongkat estafet dari kakek saya. Soto Betawi H. Ma'ruf ini bukan hanya rumah makan semata, namun adalah warisan keluarga yang harus dilestarikan, oleh karena itu saya pun memutuskan untuk terjun membantu usaha ini.

F : Apakah Mufti juga ikut bertanggung jawab untuk resep?

M:  Kalau resep Soto Betawi H. Ma’ruf semuanya masih dipegang oleh keluarga. Bumbu soto dan beberapa makanan lain masih dibuat oleh ibu di rumah walaupun kami ada satu pegawai yang sudah bekerja selama puluhan tahun yang juga paham resepnya. Tapi sebagaimana ayah dulu, mungkin nanti perlahan-lahan saya juga akan mulai mempelajari resep makanan di sini, terutama untuk soto Betawi.

F: Ketika Mufti pertama kali terjun langsung, hal apa yang jadi perhatian?

MM: Saat pertama kali bergabung, hal yang jadi perhatian saya itu lebih kepada hal-hal seperti ambiance hingga sistem pembayaran. Seperti contohnya menu yang masih dengan bentuk cetakan lama, dinding dan atap yang harus diperbaiki, sampai cara pembayaran yang masih sangat manual, jujur saya agak sedikit gatal melihatnya.

Oleh karena itu saya menyarankan kepada ayah untuk perlahan dibenahi hingga sekarang. Sistem pembayaran kami pun juga sudah digital dan terukur, bagian depan dan samping restoran juga sudah direnovasi tanpa menghilangkan esensi aslinya.

F : Apa menurut Mufti tantangan besar yang dihadapi untuk menarik minat generasi muda menikmati Soto Betawi H. Ma'ruf?

MM: Saya masih muda, tentu saya juga ingin mendengar pendapat dari generasi muda seperti contohnya pendapat dari teman-teman saya. Hal utama yang pasti mereka singgung biasanya mengenai karakter rasa soto di Soto Betawi H. Ma’ruf yang cenderung lebih subtle dibandingkan soto Betawi lain yang cenderung sangat gurih. Namun ayah selalu mengingatkan saya bahwa warisan soto kami ini sudah bertahan dari tahun 1940-an, sudah sangat teruji. Jadi kalau saya mengubah resep soto hanya demi memuaskan segelintir orang, maka saya juga akan turut mengubah sejarah Soto Betawi H. Ma’ruf, sejarah keluarga saya. Oleh karena itu saya bersyukur masih sering mendapatkan nasihat dari ayah tentang banyak hal.

Saya sadar juga kalau makanan anak-anak generasi saya ini lebih menjurus pada yang trendi, seperti contohnya waktu itu semua hal berbau Toblerone atau Nutella. Tidak ada yang salah menurut saya untuk itu semua, hanya saja kami ini berbeda. Cita rasa soto Betawi kami sudah melegenda, jadi untuk itu saya mengambil prinsip kalau enak itu selera masing-masing dan tidak bisa dipaksakan.

F : Menurut Mufti apa rahasia sukses dari almarhum kakek dan ayah yang berhasil membawa Soto Betawi H. Ma’ruf hingga tetap eksis selama lebih dari 75 tahun?

MM: Menurut saya ada dua hal utama, yaitu konsisten dan percaya diri. Jangan kita yang mengikuti pasar melainkan kita yang harus membuat pasar. Ketika banyak bisnis bisa berhasil dengan prinsip inovasi dan terus berkreasi baru, untuk kami di Soto Betawi H. Ma’ruf tetap konsisten adalah kunci utama eksistensi. Boleh kami berkreasi dengan tambahan menu, namun untuk soto Betawi itu sakral, tidak boleh diutak-atik.

Oleh karena itu saya merasa saya bisa lebih mengembangkan lagi dari sisi non-resep seperti sistem operasional, pemasaran hingga pengembangan usaha. Saya sudah disekolahkan tinggi oleh ayah saya, tentu saya ingin meanfaatkan ilmu-ilmu yang saya pelajari untuk kemajuan usaha keluarga kami. Saya sangat berharap semoga kami masih bisa terus bertahan - bahkan semakin berkembang - hingga lebih dari 20 tahun lagi di mana Soto Betawi H. Ma’ruf akan resmi berumur 100 tahun.

 

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Yes, Makanan Memang Obsesi Kami

Next
Next

Mikael Mirdad, Impresario New Nightlife Jakarta