Mukbang dan Glorifikasi Buang-Buang Makanan

Konten makanan seharusnya menghargai makanan, bukan justru membuangnya.

Glutonny.jpg

Tahukah kamu kalau Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka makanan terbuang tertinggi di dunia? Berdasarkan penilitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama dengan Waste for Change dan World Resources Institute, manusia Indonesia pertahun rata-rata meninggalkan sampah makanan 115-180 kg per kapita per tahun, atau setara dengan 80 juta ton per tahun.

Selain sampah makanan (food waste dan food loss) Indonesia juga masih terus berperang dengan malnutrisi yang masih ada di tengah-tengah masyarakat. Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF), hingga tahun 2020 saja jumlah anak-anak Indonesia yang menjadi korban malnutrisi ada lebih dari dua juta orang, dan angka ini bisa terus semakin meningkat dengan terjadinya krisis ekonomi keluarga akibat pandemi, sehingga orang tua tidak lagi bisa memberi makanan penuh nutrisi kepada anak mereka.

Kendati dua masalah utama yang berhubungan konsumsi tersebut sungguh nyata, ada hal yang menyayat hati terjadi di depan mata, dan ironisnya generasi muda yang melakukannya. Yaitu tren makan berlebihan yang dikenal dengan istilah mukbang. Mukbang (먹방; meokbang ) sendiri merupakan kegiatan makan yang awalnya dibuat oleh para kreator konten dari Korea Selatan, di mana pembawa acara atau kreator itu menyantap makanan yang berlimpah seorang diri. Di mulai di awal dekade 2010 di Korea Selatan, hingga akhirnya populer di ranah media sosial lainnya. Mukbang akhirnya menjadi sebuah genre tersendiri dalam ranah konten makanan, serta diikuti oleh banyak kreator lainnya di Amerika Serikat hingga wilayah Asia lainnya.

Hanya ada dua hal yang penonton saksikan saat melihat acara mukbang: Makanan yang berlimpah di atas meja, dan sang pembawa acara yang tak berhenti melahap makanannya seakan tidak pernah makan seumur hidupnya. Di Indonesia, tren mukbang sempat menjadi yang paling dibicarakan selama beberapa lama. Yang tadinya hanya merupakan konsumsi media digital, gaya mukbang akhirnya menyentuh layar kaca televisi nasional.

Pertanyaan besarnya adalah kemana sisa makanan yang begitu berlimpah di atas meja? Apakah seorang manusia sanggup menghabiskannya? Atau mungkin yang lebih tepat, perlukah tubuh manusia melahap segitu banyaknya makanan dalam satu waktu?

Yang tadinya berupa hiburan, mukbang mulai menuai kritik. Konsep mukbang dinilai sebagai bentuk kerakusan yang dijadikan tontonan. Pemerintah Korea Selatan sendiri akhirnya tidak bisa menutup mata, terlebih karena angka obesitas di negaranya yang semakin meningkat. Pada tahun 2018, Kementerian Kesehatan Korea Selatan pun menyusun rencana untuk mengatur koridor mukbang di bawah Kampanye Nasional Anti Obesitas. Sementara itu di Cina, tahun 2020 kemarin Presiden Xi Jinping mempertegas pelarangan pemborosan makanan sebagai bagian dari kampanye “Piring Bersih” untuk mencegah semakin meningkatnya sampah makanan. Dan, bagian dari kampanye tersebut salah satunya adalah pelarangan konten mukbang. Mereka yang membuat konten mukbang akan didenda sebesar 100,000 yuan atau setara US$15,000, di mana pengawasan ini dilakukan di bawah Central Commission for Discipline Inspection (CCDI).

Korea Selatan dan Cina bertindak bukan tanpa alasan. Seiring meningkatnya krisis iklim serta persaingan dagang dunia, produksi makanan menjadi salah satu yang utama terdampak. Sementara di sisi lain, masih banyak yang tidak ragu membuang makanan hanya demi konten semata. Bahkan cukup banyak riset yang dilakukan dari sisi psikologis mengenai kenapa mukbang diminati oleh generasi ini. Salah satu hal yang diteliti adalah faktor kesendirian, di mana penonton mendapat kepuasan setelah menyimak acara seorang diri.

Namun konsep mukbang bukan satu-satunya yang dirasa kuat mempunyai implikasi kepada terjadinya food waste dan food loss. Dengan munculnya media sosial baru seperti TikTok, muncul pula kreator konten yang semakin bermacam-macam. Selain mukbang, konten membuat makanan dengan mencampur segala macam bahan baku tanpa memperhatikan konteks serta kelayakan makanan juga terjadi. Nasi padang dibuat menjadi es krim adalah salah satunya. Yang terjadi sekarang adalah tidak adanya batasan terhadap pembuatan konten yang tepat. Para konten kreator seakan berlindung di balik label “kreativitas” sebagai pembenaran acara yang dibuatnya.

Yang dilakukan oleh mukbang adalah glorifikasi terhadap kegiatan buang-buang makanan. Maka dari itu harus ada kesadaran kuat dari para kreator konten untuk bisa menyajikan acara yang lebih bertanggung jawab serta mendorong terjadinya inisiatif baik. Mungkinkah generasi sekarang tak lagi mengenal arti mubazir?

Artikel ini adalah bentuk dari opini editorial.

Kevindra Soemantri

Kevindra P. Soemantri adalah editorial director dan restaurant editor dari Feastin’. Tiga hal yang tidak bisa ia tolak adalah french fries, chewy chocolate chip cookie dan juga chicken wing.

Previous
Previous

Room 4 Dessert: Indonesia’s Culinary Star Maker

Next
Next

Kehangatan Gudeg Jogja di Gondangdia