Ketika Semua Mau Jadi Pakar Kuliner

Natasha Lucas menyadari adanya kesenjangan antara food content creator/influencer dan profesi seorang pakar kuliner

Melihat pesatnya perkembangan dunia kuliner dan media sosial dalam beberapa tahun terakhir, ada satu hal yang menjadi keresahan saya sebagai seseorang yang berkecimpung di dua bidang ini. Saya memiliki latar belakang sebagai food content creator, tetapi saya juga seorang social media specialist yang sering kali memantau perkembangan dunia digital.

Melihat beberapa perseteruan yang terjadi di media sosial, seperti food content creator yang mengkritik restoran secara tajam layaknya seorang pakar, perdebatan tentang bika ambon dan lapis legit, serta talenan kayu dan plastik, saya menyadari adanya kesenjangan besar antara food content creator/influencer dan profesi seorang pakar kuliner.

Meningkatnya jumlah food content creator/influencer memang didorong oleh semakin besarnya antusiasme masyarakat terhadap dunia kuliner. Visual yang menarik dan menggugah selera serta restoran dengan interior yang memukau kerap kali menjadi daya tarik utama. Persaingan bisnis juga semakin ketat karena banyak pebisnis mulai melirik industri kuliner sebagai ladang yang menggiurkan. Hal inilah yang membuat masyarakat sering kali mengandalkan rekomendasi dari food content creator/influencer dalam memilih restoran yang ingin dicoba.

Namun, sayangnya, hal ini juga memengaruhi pandangan masyarakat bahwa food content creator/influencer adalah seorang pakar kuliner. Tak jarang, para food content creator/influencer sendiri menganggap bahwa mereka adalah pakar. Padahal, ini adalah dua profesi yang berbeda.

Saya ingin menjelaskan sedikit perbedaan di antara kedua profesi ini. Jika dilihat dari latar belakangnya, seorang pakar kuliner biasanya memiliki pendidikan atau pengalaman profesional di bidang kuliner, seperti chef, ilmuwan pangan, kritikus makanan, atau akademisi gastronomi. Mereka memahami teknik memasak, sejarah kuliner, hingga ilmu pangan.

Sementara itu, food content creator/influencer tidak selalu memiliki latar belakang akademik atau profesional di dunia kuliner. Fokus mereka lebih pada pengalaman pribadi, estetika visual, dan interaksi dengan audiens. Seorang pakar kuliner dapat memberikan analisis mendalam berdasarkan riset dan pengalaman profesional. Misalnya, seorang kritikus makanan seperti Anton Ego dalam film Ratatouille menilai makanan berdasarkan teknik dan rasa, bukan hanya tampilannya. Sebaliknya, food content creator/influencer lebih mengutamakan pendapat pribadi, tren, dan daya tarik visual untuk menarik perhatian penontonnya.

Oleh karena itu, kita sering kali mendengar ulasan dari food content creator/influencer yang tidak sesuai konteks dan tidak mengikuti pakem bahasa kuliner. Misalnya, seseorang yang hanya hobi memasak disebut chef, atau restoran yang dengan mudah ditemukan justru diberi label hidden gem, dan sebagainya. Menurut saya, sudah saatnya kita lebih menghargai setiap profesi dan tidak menyamaratakannya.

Di Indonesia, jumlah pakar kuliner yang bisa dijadikan acuan memang masih terbilang sedikit. Beberapa nama seperti almarhum Bondan Winarno, William Wongso, dan Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito mungkin tidak selalu muncul di media sosial yang kini didominasi oleh generasi muda. Oleh karena itu, para food content creator/influencer sebaiknya memperkaya wawasan kuliner, bukan hanya sekadar mengejar tren atau visual menarik. Mengikuti kelas gastronomi, belajar dari para chef profesional, atau bahkan sekadar membaca buku kuliner bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan kredibilitas dalam menyampaikan ulasan makanan.

Di sisi lain, kita sebagai masyarakat juga perlu lebih kritis dalam menerima rekomendasi kuliner di media sosial dan tidak serta-merta menganggap mereka sebagai pakar. Dengan begitu, kita dapat berkontribusi dalam membangun ekosistem kuliner yang lebih sehat dan edukatif, dari hulu hingga hilir.

Natasha V. Lucas

Natasha V. Lucas merupakan Head of Creative & Visual di Feastin’. Food stylist dan fotografer yang melihat makanan sebagai karya seni. Pencinta memasak yang tak bisa hidup tanpa kopi dan sashimi. Baginya, makanan bukan sekadar rasa - tapi harus diapresiasi dari hati.

Next
Next

Food for Thought: Omakase Tak Sama dengan Tasting Menu