Parti Gastronomi Membawa Pangan Lokal Jadi Relevan untuk Anak Muda
Kenalan dengan Parti Gastronomi dan pendekatan mereka untuk kuliner Indonesia.
Jadi negara yang punya budaya kuliner tradisional yang seakan tidak ada habisnya pasti banyak sisi positifnya. Tapi sebetulnya ada loh hal yang jadi hambatan dari negara kita yang punya kekayaan kuliner lokal, salah satunya karena erat dengan kesan tradisional, jadi sulit untuk relevan dan dikenal oleh generasi yang lebih muda. Memang sih masakan tradisional dari resep sampai bahan baku yang sarat kearifan lokal cenderung diliputi kesan “kuno”. Ini yang jadi tantangan sesungguhnya bagaimana bisa membuat semua itu dikenal oleh anak-anak muda dan juga tentunya dianggap senormal bahan makanan lain yang biasa kita temukan di pasar sampai restoran di kota.
Beruntung kita, ada Parti Gastronomi di tengah-tengah kita. Nama yang keren, catchy, familiar di telinga generasi muda sarat hura-hura, tapi punya makna yang sangat dalam dan menjadi jiwa dari gerakan ini: Merayakan kekayaan gastronomi Indonesia. Meski pun namanya seakan terdengar seperti sebuah event kuliner di jantung kota metropolitan, yang mereka lakukan jauh dari hal-hal di permukaan. Parti Gastronomi didirikan oleh kombinasi disiplin yang membuatnya lengkap sebagai sebuah entitas baru yang layak jadi acuan anak-anak muda. Mereka bukan dari latar sembarangan. Ada Seto yang merupakan food anthropologist dari Universitas Padjajaran, Reyza, seorang magister ilmu pangan yang juga bekerja untuk Food & Agriculture Organization (FAO) di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), serta Arifin yang bukan nama asing lagi di industri kreatif kota Bandung.
Feastin’ berbincang secara online dengan ketiganya untuk tahu lebih dalam tentang Parti Gastronomi serta bagaimana mereka melihat anak muda sekarang terhadap kuliner dan pangan lokal.
1. Boleh diceritakan bagaimana awalnya Parti Gastronomi dibentuk?
Awal tahun 2019 Arifin Windarman (Ipin), Hardian Eko Nurseto (Seto), dan Reyza Ramadhan (Reyza) sepakat berkomplot dengan dasar ketertarikan yang sama akan kuliner Indonesia. Sebenarnya, kami sudah saling kenal sejak lama dan sering beririsan dalam kegiatan-kegiatan berhubungan dengan kuliner. Namun baru tahun kemarin kami kerja bersama dalam satu dapur, Parti Gastronomi. Dengan memplesetkan kata party dalam Bahasa Inggris menjadi Parti, Kami percaya bahwa ada lebih dari segudang cerita mengenai kuliner Indonesia yang bisa kita rayakan keanekaragamannya dengan cara apapun.
2. Apa saja kegiatan yang selama ini sudah dilakukan oleh Parti Gastronomi?
Kami bertiga selalu ingin merayakan kuliner negeri ini dengan cara yang kami bisa. Parti Gastronomi memiliki empat program utama. Melalui Telusurasa kami mencoba melakukan riset dan publikasi rutin, salah satu outputnya film dokumenter dan jurnal berjudul Delicious Rot; tak jarang juga kami menggelar layanan kenduri bertajuk Open Table, lalu juga mengajak anak muda untuk masak di rumah dengan kampanye #MasakAkhirPekan, dan semua itu kami rumuskan di dapur mungil kami Parti Lab.
3. Parti Gastronomi kami lihat sering melakukan kolaborasi antar disiplin kuliner, mengapa kolaborasi jadi lebih penting sekarang ini?
Kami sendiri di Parti Gastronomi sebenarnya memiliki disiplin yang berbeda. Seto yang merupakan akademisi di bidang antropologi pangan, sedang Ipin merupakan praktisi desain produk, dan Reyza adalah praktisi pangan dan pertanian. Mungkin hal tersebut yang membuat kita percaya bahwa kolaborasi antar disiplin di dunia kuliner adalah keharusan. Dengan berkolaborasi kami juga belajar banyak tentang bagaimana orang melihat makanan. Setiap disiplin ilmu pasti punya prespektif sendiri dalam mempelajari makanan.
4. Dari kacamata Parti Gastronomi, apakah sekarang momentumnya untuk kuliner Indonesia dari segala spektrumnya untuk bangkit?
Secara tren nampaknya panggung utama kuliner global semakin mengarah ke kuliner Indonesia. Ditandai dengan beberapa liputan dari media sekelas Netflix dan National Geographic, belum lagi banyaknya seminar mengenai gastronomi yang kian menjamur, tak lupa semua penggiat yang eksis bahkan hingga akar rumput. Kemudahan akses informasi dan keluwesan media sosial membuat kuliner Indonesia banyak dikenal dunia. Saat ini merupakan momentum terbaik yang perlu dimanfaatkan untuk mendokumentasikan dan mempromosikan kuliner Indonesia ke khalayak yang lebih luas.
5. Apa saja potensi gastronomi Indonesia yang bisa menjadi kekuatan kita?
Setidaknya ada empat hal menurut kami. Pertama budaya mengawetkan makanan yang diturunkan turun temurun. Secuil ceritanya sudah kami dokumentasikan dalam Delicious Rot; Kedua, Indonesia merupakan negara keanekaragaman hayati terbesar ke-3 di seluruh dunia, banyak bahan baku yang bisa diolah dan diceritakan. Ketiga, keragaman budaya di Indonesia sesuai dengan budaya tempat makanan itu tumbuh yang membuat kuliner Indonesia tidak membosankan. Keempat, yang paling penting, budaya ngobrol. Bayangkan kalau hobi ngobrol tersebut dipakai untuk “mempromosikan” kekayaan negeri ini yang disampaikan di tiga poin sebelumnya secara terus menerus, menarik sekali.
6. Bagaimana anak muda sekarang melihat gastronomi Indonesia?
Kami cukup senang melihat geliat skema gastronomi di beberapa daerah. Kami merasa memiliki banyak kolega untuk saling bertukar cerita. Misalnya dengan kawan-kawan dari Lazy Susan (Jakarta), Whaton House (Jogjakarta), dan Lakoat Kujawas (Timor). Lazy Susan yang giat merilis bahan bacaan berupa majalah, Whaton House yang rajin menyambut tamu untuk makan malam di halaman belakang indekos mereka, dan Lakoat Kujawas yang telaten membuat materi edukasi akan pangan lokal. Apa yang dikerjakan mereka membuat gastronomi, kuliner, makanan, pangan, dan terminologi serupa mulai menjadi bahasan yang kece. Tentunya masih banyak penggiat kuliner di Indonesia ini, dan kami berusaha untuk menjalin komunikasi dengan harapan suatu waktu nanti kami bisa berkolaborasi dengan mereka.
7. Kami mulai melihat mulai banyak gerakan food artisan di Indonesia, kenapa baru sekarang?
Karena pasar yang dinamis. Kita bisa lihat geliat konsumen di middle income level. Hal ini akhirnya membuat para artisan percaya bahwa karya mereka bisa dihargai. Selain itu, mungkin juga karena term food artisan ini baru saja ngetren di Indonesia, dulu mungkin sudah banyak juga, namun tidak terekspos karena tidak ada media sosial, jadi tidak diberi label food artisan, tapi “tukang masak” saja. Karena konsep tentang artisan sendiri kan tentang makanan yang diproduksi dengan metode non-industri, dan terkadang diturunkan dari generasi ke generasi. Sebagaimana kita lihat pembuat bakpia pathok, tempe mendoan, tahu sumedang, dan makanan “oleh-oleh” lainnya, apakah mereka juga food artisan, atau pengrajin, atau sekedar tukang masak?
8. Apa saja rencana-rencana Parti Gastronomi ke depannya?
Jujur saja pandemi membuat kami tidak ingin memprediski terlalu jauh, hehe. Namun kerangka umumnya kami masih ingin lebih giat menulis mengenai budaya fermentasi di Indonesia, pameran gastronomi di beberapa kota, ber-telusurasa kembali ke beberapa daerah, dan bersilahturahmi dengan lebih banyak tokoh-tokoh kuliner di Indonesia.