Plagiarisme di Industri F&B
Menelaah fenomena plagiarisme yang marak dalam industri makanan.
Kalau ada sebuah kata yang menurut kami telah tercemar makna aslinya adalah kata “terinspirasi”. Terinspirasi sejatinya punya makna yang sarat dengan penghormatan dan kekaguman. Sementara asal katanya - inspirasi - punya makna yang lebih sakral, yaitu ketika hati manusia mendapat ilham dari bisikan semesta, dan ketika diaplikasikan menjadi sebuah karya.
Namun rupanya hari-hari ini, konsep terinspirasi sudah terdistorsi oleh tindakan yang lebih condong kepada plagiarisme. Kata "terinspirasi" kadang jadi tameng untuk membenarkan tindakan yang sebetulnya nemesis dari kekudusan inspirasi, dan industri F&B pun justru jadi ladang subur plagiarisme. Hal ini tentu bikin hati miris, terlebih dunia kuliner sebetulnya salah satu industri yang kaya dengan inspirasi nyata dan ide-ide kreatif (bila dijalankan dengan etika). Namun sebagaimana industri kreatif lainnya, plagrisme tampak jelas, dan sulitnya lagi hal ini terjadi bahkan dari grass root hingga ke atas.
Kita lihat misalnya contoh Bakso Kumis. Di mana saja kalian pernah lihat warung Bakso Kumis? Pernahkan kalian bertanya mana Bakso Kumis yang asli? Atau es cendol dengan nama ratu Inggris. Apa betul semuanya ada di bawah payung yang sama? Naik sedikit, kasus plagiarisme juga terjadi pada lingkup bisnis kuliner anak muda. September 2020 lalu, kasus panas yang jadi sorotan adalah tentang Kolaborasa, bisnis compund kuliner milik celebrity chef Arnold Poernomo dan Kaesang Pangarep, dengan "Kolaborasa" yang dibuat oleh sosok Billy Oscar. Billy Oscar diduga melakukan plagiarisme terhadap konsep dan nama Kolaborasa sehingga kasus ini meramaikan Twitter. Pembahasan tentang plagiarisme dalam merek dagang sebuah usaha makanan sebetulnya naik ke permukaan masyarakat luas dipicu oleh kasus nama Geprek Bensu yang ramai di banyak media bulan Juni 2020. Hal ini mengenai sengketa antara selebritas Ruben Onsu dengan pengusaha Benny Sujono atas usaha ayam geprek bernama dan bermenu serupa.
“Tumbuh pesatnya UMKM juga melahirkan banyaknya merek-merek dagang baru yang mengisi pasar. Namun sayangnya, pelaku UMKM masih jarang sekali yang sadar mengenai pentingnya mendaftarkan merek dagang dan mendorong kreativitas dalam memberikan merek pada produknya.” Ujar Rifki Fadilah peneliti ekonomi dari The Indonesian Institute kepada berita Media Indonesia 2020 lalu. Sayangnya peningkatan UMKM di Indonesia ini sering tidak dibarengi dengan pemahaman para pengusaha muda tentang pentingnya hak kekayaan intelektual serta etika-etika yang seharusnya dimiliki di dunia usaha.
Walapun ada istilah there is nothing new under the sun, banyak yang mengaplikasikannya dengan tafsiran yang keliru, seakan slogan ini berfungsi sebagai licence untuk menghalalkan tindak tiru meniru. Menurut pakar hak kekayaan intelektual Oscar Manahan kepada media F&B Report orang tidak akan peduli kalau kita membuat makanan yang sama persis dengan restoran untuk konsumsi di rumah, namun bila sudah mendapatkan profit dan merek dagang, itu cerita lain. Kita bisa melihat bagaimana di masa sekarang ketika teknologi mengamplifikasi penyebaran berita dan konten makanan secara signifikan. Makanan yang ada di sebuah bakery kecil di London bisa dalam waktu cepat hadir juga di café di Jakarta atau toko di Istanbul. Cronut yang diciptakan oleh chef Dominique Ansel pada tahun 2013 di toko kue mungil di Manhattan menjadi demam dunia, muncul di berbagai café di kota-kota besar dari Shanghai hingga Sydney bahkan hingga tahun-tahun setelahnya. Begitu pula dengan steamed bun yang diisi pork belly khas Momofuku sekarang bisa ditemukan di banyak neo-noodle shop di penjuru dunia termasuk Jakarta. Apa yang sebetulnya terjadi?
Di beberapa negara, resep tidak dilihat sebagai sesuai yang bisa dipatenkan. Dominique Ansel contohnya, Ia tidak bisa mematenkan resep cronut, namun untuk nama dan bentuk – bila betul-betul unik – bisa dipatenkan. Belum lagi kecepatan. Media Washington Post menulis secara komprehensif mengenai copyright dan copycat dalam artikel yang diterbitkan bulan April 2016 lalu. Menurut mereka, kecepatan penyebaran informasi lah yang membuat makanan yang meniru makanan lain hadir di mana-mana dan tidak akan bisa dihentikan. Siapa pula yang bisa mengatakan ayam pop hanya dimiliki oleh restoran Sederhana dan bukannya Pagi Sore? Siapa yang bisa membuktikan bahwa fried chicken adalah karya tunggal KFC bukannya ratusan merek fast food sejenis? Di mana kita bisa menemukan “versi asli” dari minuman soda gembira yang ada di hampir seluruh restoran Tionghoa di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, kuliner tidak bisa dipatenkan. Menurut UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, sesuatu yang bisa dipatenkan tidak masuk di dalamnya kuliner, karena makanan sendiri merupakan campuran budaya dan asimiliasi. Maka dari itu dalam kasus Billy Oscar vs Kaesang dan rekan atau Ruben Onsu vs Benny Sujono yang bisa dibawa ke pengadilan adalah nama merek dagang dan turunannya yang mendapat hak cipta, sementara hidangan ayam geprek dan nasi goreng tidak bisa dibawa-bawa.
Di era teknologi seperti sekarang, plagiarisme memasuki babak baru yaitu dengan mengikuti gaya promosi, seperti yang dialami oleh brand coffee shop yang sedang naik daun di Jakarta Selatan yaitu Suasanakopi baru-baru ini. Firman Aldianto co-founder dan creative director dari Suasanakopi menjelaskan kepada Feastin’ bagaimana sebuah coffee shop lain diduga meniru setiap aspek dari video promosi mereka di Instagram. “Di kasus terakhir yang kami alami, sebuah coffee shop mencontoh setiap elemen. Mulai dari programnya, tata letak typography, penggunaan music yang sama, angle pengambilan gambar, konsep video promosi, hingga penulisan caption.” Sayangnya, peniruan ini bukanlah yang pertama kali bagi Suasanakopi. “Sejak kami pertama kali buka di 2018 sudah pernah ditiru. Saya tahu dari staff yang mengirimkan video milik brand lain.”
Berbincang kepada Feastin’, creativepreneur Gupta Sitorus menjelaskan bahwa plagiarisme adalah sebuah bentuk kemalasan. “Malas bekerja keras dalam menciptakan karya asli mereka sendiri dan menjadikan karya seni (atau produk kreasi) orang lain sebagai miliki mereka dan tidak sedikit yang bahkan punya niat untuk mengambil keuntungan dari karya orang lain.” Menurutnya, modifikasi adalah kunci dari inspirasi terhadap sebuah karya. Karena pada level tertentu, meniru bisa dilakukan dengan niat untuk belajar, bahkan menghormati pencipta awal. “Buat Suasanakopi sendiri, terinspirasi boleh tapi harus dimodifikasi. Karena sebenarnya tiap brand punya DNA-nya masing - masing. Yang bisa ditolerir adalah mencontoh programnya, tapi cara presentasinya ya tetap ala brand itu sendiri.” Ujar Firman.
Maka dari itu kembali ke niat awal, bahwa terinspirasi harus memiliki dasar yang baik dan mulia, dengan menghormati pencipta kreasi yang telah melewati ratusan jam dan jalan panjang hingga berhasil melahirkan sebuah karya nyata. Dalam proses menciptakan sebuah makanan contohnya, puluhan jenis resep diuji coba. Berbagai bahan baku dibeli dan diolah dengan dana yang tidak sedikit. Belum lagi proses memperkenalkan ke pasar yang tidak selalu mudah serta penuh perjuangan. Ada harga yang harus dibayar oleh pencipta produk hingga akhirnya kreasi makanan mereka bisa diterima pasar, dan proses itu bisa berlangsung seminggu, sebulan, setahun, bahkan 10 tahun. Maka dari itu, yang ingin kami sampaikan adalah, apakah mencari uang harus dengan cara yang tidak beretika? Apakah karena untung semata kita menjadi manusia yang tak lagi punya hati nurani dan rasa hormat terhadap sesama?