Delicious Design with Michael Killian

Berkenalan dengan Michael Killian, orang yang ada di balik movement F&B baru yang erat dengan Gen-Z urban Jakarta.

Michael Killian by Natasha Lucas

Michael Killian by Natasha Lucas

Anak gaul Jakarta – apalagi Jakarta Selatan – pasti ngangguk-ngangguk kalau kami sebut nama-nama berikut ini: Pizza Dealer, Demie Bakmi, Slits (nah, ini dia), dan Zodiac (there you go). Dari keempat nama ini, apa saja kesamaan mereka? Sama-sama terletak di wilayah Kebaoyoran Baru? Betul. Sama-sama jadi hub teman-teman Gen-Z dan Millenial Akhir? Betul juga. Sama-sama yang datang pasti penuh gaya dari ujung rabut sampai ujung kaki? Tepat sekali. Tapi sebetulnya ada satu lagi kesamaan mereka: Mereka sama-sama didesain oleh seorang Michael Killian.

Kalau kami menyebut nama Michael Killian di kalangan food and beverages (F&B) garis umum – seperti grup restoran dan franchise – mungkin nama Michael Killian agak samar-samar. Tapi bila kami sebut namanya di kalangan rekan-rekan desainer grafis top Jakarta dan para pemilik restoran independen di kawasan Jakarta Selatan yang menargetkan lifestyle culture, kemungkinan besar mereka bukan cuma tahu namanya tapi juga setidaknya pernah bertemub. Michael Killian adalah perwujudan dari unifikasi dua dunia kreatif dalam satu tubuh, F&B dan juga desain. Ia bukan orang sembarangan. Bahkan, kalau kalian adalah bagian dari kelompok manusia yang mengagumi Potato Head Family dari segi brand, story dan personifikasinya, Ialah orang yang turut punya andil melahirkan itu semua, dari Jakarta hingga Singapura, dari Bali hingga Hongkong.

Feastin’ senang sekali bisa dapat kesempatan untuk ngobrol dengan seorang Michael Killian dan mengulik lebih jauh cerita tentang dirinya, tentang desain, dan bagaimana membangun grup F&B lifestyle yang buka cuma dekat dengan generasi baru Jakarta, tapi juga membangun sebuah habitat yang membuat siapa pun ingin menjadi bagian di dalamnya.

Feastin’ (F’): Boleh diceritakan background Michael?

Michael Killian (MK): Latar belakang saya adalah lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual dari Universitas Pelita Harapan. Nah, dari waktu kuliah dan masuk dunia desain, saya memang sudah handle branding. Sebetulnya dari tahun 2009 saya itu sudah kuliah sambil kerja juga. Selain desain, saya sendiri dari awal juga sudah tertarik dengan fashion selain desain. Tapi seiring waktu berjalan, dunia F&B kan juga lagi berkembang gila-gilaan, dan akhirnya saya bergabung ke restoran Potato Head di Jakarta.

F’: Nah, apa project pertama kali yang berhubungan dengan F&B?

MK: Di tahun 2011 saya sudah bergabung di restoran Potato Head di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Sebelum di Potato Head saya lebih ke bidang desain streetwear. Waktu itu Potato Head baru ada di Jakarta, belum ada tuh di Bali. Di sinilah pertama kalinya saya terekspos dengan dunia F&B. Waktu itu sala mulai dari graphic designer, lalu seiring berkembangnya perusahaan saya menjadi art director, hingga saat Potato Head berkembang ke luar negeri saya diangkat menjadi creative director atau head of creative.

F’: Sebagai desainer, apa saja elemen yang Michael rasa paling esensial dalam sebuah desain yang berhubungan dengan makanan?

MK: Ada beberapa elemen menurut saya. Satu, the brand’s story. Itu yang paling penting karena konsumen sekarang punya atensi yang lebih tinggi terhadap cerita dan nilai-nilai yang ditawarkan sebuah merek. Story tersebut bisa dari latar belakang sang pemilik, cerita soal makanan dapat idenya dari mana, bahkan tentang misi mereka untuk konsumen. Yang kedua tentu fungsinya. Desain sebagus apapun kalau tidak punya fungsi is useless. Jadi bukan cuma soal estetik saja. Dan yang ketiga adalah experience. Kita harus tahu apa yang bisa jadi pembeda tempat kita dari yang lain. Karena pada akhirnya yang kita mau adalah konsumen bisa mendapatkan message yang mau kita sampaikan dan share experience tersebut ke orang lain.

F’: Boleh diceritakan bagaimana rasanya ketika mendesain proyek orang lain dan akhirnya your first F&B outlet?

MK: Ketika kita mendesain untuk orang lain, kita lebih tertarik dengan story yang akan disampaikan oleh orang tersebut, targetnya dia, gambaran besar mereka serta misinya. Dari situ saya akan desain hingga sampai ke titik akhir yaitu experience. Yang memuaskan dari bekerja untuk orang lain adalah adanya proses kolaborasi dan jga bagaimana kita belajar menangkap serta mencoba memahami ide atau konsep orang lain. Ketika desain sendiri, justru lebih menantang, karena semuanya hanya kita yang tahu. Namun, kebebasan adalah yang paling memuaskan ketika kita mendesain sendiri.

F’: Mengapa sekarang ini desain menjadi begitu penting di F&B?

MK: Banyak banget hal yang berpengaruh di sini. Namun yang utama adalah identitas F&B sebagai bagian dari gaya hidup urban. Kedua, menurut saya orang-orang sudah tahu bahwa datang untuk makan di tempat makan bukan cuma rasa tapi juga visual. Exposure banyak orang akan konsep tempat-tempat makan baru di seluruh dunia juga berpengaruh. Dari sinilah orang semakin sadar bahwa untuk membuat tempat F&B di era sekarang perlu brand dan visual yang kuat yang tentu berjalan sinergi dengan kualitas makanan dan minuman yang diusung.

F’: Kita mau tahu nih, sepertinya ada ketertarikan khusus Michael dengan kultur disko kami perhatikan, is that true?

MK: Haha, jadi awalnya kami punya sebuah project-lah ya namanya Pleasure. Waktu kami bikin Pleasure, kami sistemnya pop-up disco, pindah-pindah tempat. Sebetulnya karena awalnya tidak punya tempat permanen. Namun kalau ditelusur lebih dalam lagi, kita sebetulnya ingin kasih pengalaman yang berbeda di setiap tempat. Itu yang kita ingin kejar dari awal. Setelah cukup sukses, datanglah kesempatan untuk kami buka tempat sendiri, dan berdirilah Zodiac pada akhir tahun 2018. Intinya, yang ingin kami buat dari portfolio kami seperti Slits, Pizza Dealer, Demie Bakmie, dan Zodiac, adalah membentuk satu kultur urban bagi generasi baru, yang tentunya otomatis generasi baru ini bakal jadi pemain di masa depan.

Feastin' Crew

Tim penulis yang selalu lapar, entah itu akan informasi baru atau masakan lezat di penjuru kota.

Previous
Previous

Girish, The Prince of Jakarta’s Indian Food Scene

Next
Next

Eating Out: What We Miss The Most